Kertas XXXV

2.7K 187 40
                                    

Walau mendengar setengah sadar, Karevan ingat betul bagaimana ucapan Aldi. Ia benar-benar tidak mengerti maksud dari perkataan mantan kekasih adiknya tersebut.

Karevan meringis tatkala luka di wajahnya tersentuh alkohol. Ia coba menghindarkan tangan Michelle, namun Michelle malah melotot ke arahnya. Karevan hanya bisa pasrah sambil menyenderkan punggung di sofa rumah Michelle.

"Lagian, kenapa lo nggak lawan dia aja sih, Kak?!"

"Nggak tahu. Gue kayak ngerasa pantes aja dapetin itu dari dia."

"Bilang aja nggak bisa nonjok," cibir Michelle. "Laki-laki apaan lo?!"

Karevan terkejut mendengar penuturan gadis di sampingnya ini, tapi ia berusaha menguasai diri.

"Biarin dulu. Gue mau balikin baskom ke dapur sekalian buatin lo teh hangat," kata Michelle yang cuma bisa Karevan angguki karna masih terlampau shock.

Dipijatkan bagian pipi yang terasa kram seraya mengedarkan pandangan pada dinding rumah Michelle, yang meski berulang ia kunjungi, tak membuat mata bosan.

Pikiran Karevan mulai berkelana, ia menyambungkan segala perkataan Aldi serta peristiwa-peristiwa yang akhir-akhir ini terjadi. Ya, Karevan mengakui kalau ucapan kapten basket itu memporak-porandakan kepalanya.

Karevan mengusap wajah kasar, matanya seketika memaku pada benda di atas nakas. Dengan dahi berkerut, di dekatinya benda tersebut.

"Ini 'kan obat sakit kepala," sambil mengangkat bungkus kapsul yang terbuka setengah. "Tapi inikan tempat obat yang dikonsumsi Michelle buat leukimia."

Karevan menatap ke arah dapur meski tak dilihatnya figur Michelle dari sana. Kemudian ia beralih menatap kedua barang yang berada dalam genggaman. Ini benar-benar aneh hingga membuat dugaan-dugaan dalam benak Karevan naik ke level yang lebih tinggi. Perasaan Karevan jadi tidak enak. Dipandangi terus kedua benda tersebut sampai tak lama ia terlonjak kaget. "Ada yang nggak beres!"

Michelle datang dengan senyum sehangat teh di tangannya. Ketika gadis itu menyodorkan minuman itu, segera Karevan menepisnya hingga pecah ke lantai dengan bunyi keras. Michelle melotot dengan wajah merah padam yang kentara. "Apa-apaan sih, lo?! Gue bikinnya susah, bodoh! Hargain dikit kenapa, sih?!"

Karevan menggeleng pelan, benar-benar tidak menyangka. "Sepertinya Michelle yang asli adalah dengan sifat yang ini, bukan dengan sifat yang dari kemarin dibuat-buat. Lo memang kasar!"

Michelle langsung gelagapan. "Eh, ng-nggak kok, Kak. Tadi tuh, refleks. Iya, bener. G-gue nggak gitu kok orangnya."

"Yakin?" Karevan terkekeh miris. "Ini apa?" Diperlihatkan apa yang ada di tangannya. Michelle terpaku. Bangsat, kenapa gue nempatin obat itu sembarangan? Ini gara-gara Audrey sialan, kemarin gue sampai lupa bawa ke kamar! Karevan mengeram saat Michelle hanya diam. "JAWAB GUE INI APA?!"

Bukannya menjawab, Michelle malah menjatuhkan dirinya ke sofa. Cewek itu memegang kepala sambil meringis pelan. Karevan merutuk dalam hati, masih bisa acting!

Karevan lempar obat-obat di tangannya ke lantai. "Udahlah, nggak usah pura-pura lagi di depan gue, Chelle!" Dada Karevan naik turun menahan lonjakan emosi yang direaksikan tubuhnya. "SELAMA INI LO NGGAK BENER-BENER SAKIT, KAN?!"

Michelle tidak menjawab, kepalanya jadi benar-benar sakit untuk kali ini. Michelle tidak bercanda, dunia seperti berputar.

"Selama ini gue terlalu percaya sama lo dan ngelupain Rachel! Bener kata Aldi, lo busuk! Gue nggak nyangka lo lakuin ini ke gue!!!"

Michelle berusaha bangkit, ia mengepalkan tangannya. "JANGAN SALAHIN GUE! SALAHIN CINTA GUE KE LO, REVAN! GUE LAKUIN INI KARNA GUE SAYANG SAMA LO!"

Rachel (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang