Kertas XXIII

2.4K 203 23
                                    

Rachel terbangun dari pingsannya setelah lima jam kemudian, tepat pukul lima sore ini. Yang pertama kali ia lihat setelah korneanya mencoba menyesuaikan dengan intensitas cahaya ialah Aldi. Cowok itu duduk di kursi, sedang sahabatnya cuma Angel yang tiduran di brankar samping.

"Minum dulu," sapa Aldi dengan memberi air mineral yang telah sebelumnya ia sediakan.

"Makasih," jawab Rachel yang kentara sekali sedang lemas.

"Gimana, sudah enakan badannya?" Tanya Aldi dengan menutup botol yang tadi diserahkan kembali oleh Rachel. "Kamu hampir setengah hari, loh, pingsan."

Rachel meringis diikuti cengiran. "Kecapekan kali, Kak. Maklum, akhir-akhir ini banyak tugas yang harus dikejar sebelum Ulangan Tengah Semester. Jadinya kurang tidur, apalagi ditambah makan yang telat melulu."

Aldi mencubit pipi Rachel. "Nggak usah sok meyakinkan gitu, aku sudah tahu semua. Jadi, nggak usah adalagi yang ditutup-tutupi.

Rachel terdiam, mencoba mencerna ucapan Aldi dengan menatapnya lekat. Dan ketika cowok itu memberi senyum menenangkan, seketika dada Rachel untuk pertama kali merasa getar ketakutan.

"Iya, apa yang kamu pikirkan memang benar, Chel," jawab Aldi seolah mengerti perang batin Rachel.

Diraihnya tangan Aldi untuk kemudian digenggam erat-erat. Matanya memanas sarat akan kekhawatiran. Pun bibir Rachel yang kering ikut bergetar. "Kakak tahu dari siapa?!"

"Bukan dari siapa-siapa."

"A-aku mohon, janji sama aku kalau kamu nggak bakalan kasih tahu siapapun soal ini!"

"Kenapa?"

"JANJI SAMA AKU!" Rachel memekik bersamaan dengan air matanya yang tumpah.

Aldi yang tak bisa melihat gadisnya kacau, segera bangkit untuk memeluk tubuh Rachel. Dikecupnya berulang kali rambutnya yang lepek agar lebih tenang. Ia berusaha memposisikan diri sebagai orang yang sejujur-jujurnya dapat dipercaya.

"Iya aku jujur, aku cewek penyakitan. Nggak normal. Hidup aku mainnya Cuma sama obat dan kemoterapi, nggak kayak cewek lainnya."

Rachel terkekeh miris. "Pasti Kakak kaget waktu tahu? Aku minta maaf, ya, karna ngerahasiain ini. Aku Cuma nggak mau orang-orang yang aku sayang jadi pergi ninggalin aku, atau lebih parahnya Cuma mau berteman sama aku karna kasian, bukan bener-bener tulus."

"Kak, jadi cewek penyakitan itu berat. Dulu aku sempet marah sama Tuhan, kenapa harus aku? Nggak adil tahu nggak?! Rachel 'kan juga pengen hidup kayak anak-anak yang lain. Lari-larian, kemah, daki gunung lagi. Nggak seperti sekarang, ini itu dilarang karna takut mimisan terus pingsan."

"Dan yang paling aku takutin dari semua hal adalah dijauhi. Kakak nggak bakalan lakuin itu ke Rachel, 'kan?" Tanya Rachel tanpa berani memandang Aldi. Yang cuma ia lakukan adalah memeluk erat cowok itu. Takut bilamana jawaban yang dilontarkan adalah pisau kehidupan paling tajam.

"Husstt!" Aldi membelai punggung Rachel menenangkan. "Apapun dan bagaimanapun kamu adanya, aku tetap selalu ada di belakang kamu," memang di belakang, bukan? Ingin sekali mengatakan di samping. Tapi posisi itu telah lama dimiliki orang lain, pikirnya yang langsung ia enyahkan karna tak pantas untuk datang di saat-saat seperti ini.

Rachel (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang