Part 14: It Wasn't Your Fault

Start from the beginning
                                        

“Take your time, pull yourself together, Arletta,” bisik Nathaniel membawa Arletta melihat Nelie untuk terakhir kalinya sebelum peti mati itu akan ditutup.

Arletta tak sanggup, rasanya semakin menyakitkan melihat paras ayu wanita itu berubah pucat tak lagi bernyawa. Dadanya seperti diremas kuat, tangannya gemetar hebat menyentuh peti.

“Oma … please don't leave Maysha,” lirih Arletta.

────୨ৎ────

“It's all your fault! You murderer! How dare you kill my mother after what she gave you,” hardik Audrey pada Arletta.

“I’m not murderer, Aunty!”

“Hanya kamu yang berada di kamar Mama saat itu,” tuding Audrey.

“Aku ke kamar Oma karena aku ingin memberikan makan siang dan obat untuk Oma. When I went into Oma's room, Oma was already on the floor and unconscious. I didn't know anything, Aunty,” beber Arletta.

“Kamu itu memang pembawa sial, sejak ada kamu keluargaku jadi terus-terusan sial dan sekarang ibuku meninggal karena kamu,” cerca Jeni.

"I love Oma so much, how could I ever kill her?”

“You have no talent, you have mediocre grades, you fail at everything, Arletta. You killed my mother so you could take over all her cafes in Indonesia,” tuding Jeni.

“I don't even give a fuck about those cafes,” balas Arletta.

Albern terlebih dahulu menarik Arletta saat Audrey hendak kembali menyudutkan Arletta. “Berhenti menyudutkan putriku.”

“Your mother died because of your beloved daughter, whom you have pampered so much. Albern, she's just a bad luck charm for our family; you need to realize that.” Kilatan marah jelas terlihat di iris terang milik Albern, dia tidak terima putrinya direndahkan seperti itu.

“Watch your words, Jeni Victoria Charlos. You have no right to degrade or criticize my daughter. My daughter is not what you accuse her of being,” tegas Albern.

ִֶָ 𓂃˖˳·˖ ִֶָ ⋆۫ ꣑ৎ⋆  ִֶָ˖·˳˖𓂃 ִֶָ

Semua ingatan buruk itu kembali memenuhi isi kepala Arletta. Iris gelapnya menatap kosong cakrawala petang bertabur gemintang nan adiwarna. Tak terasa buliran bening mengalir dari sudut mata indahnya, jika saja waktu bisa diputar kembali mungkin saja Arletta akan menawarkan diri untuk menukar nyawanya demi Nelie.

Hidup dan mati memang hal yang tidak bisa diatur oleh manusia karena itu semua adalah kuasa Tuhan. Di luar sana ada banyak orang yang mati-matian untuk tetap hidup meski garis takdir telah menentukan kematian berdampingan di sampingnya. Namun, beberapa ada yang berusaha untuk mengakhiri semuanya tapi Tuhan masih terus menyelamatkannya.

Lamunan Arletta buyar saat seseorang menepuk bahunya. Dia menoleh ke samping mendapati Nathaniel yang tersenyum manis membawa segelas susu vanilla favorit Arletta. “Did Nando bother you again?” tebak Nathaniel tepat sasaran.

Arletta menerima uluran susu vanilla dari Nathaniel. “Thank you.”

“It wasn't your fault, Arletta. Stop blaming yourself, I believe you could not have done the things they accused you of,” ujar Nathaniel duduk di samping Arletta.

“Even now, I still don't understand what happened three years ago. Kenapa mereka tiba-tiba saja menuduhku dengan alibi yang tidak masuk akal?” Arletta meneguk setengah susu vanilla pemberian dari Nathaniel.

“I lost everything at that time, including my dreams. Mama dan Papa tiba-tiba saja berubah dan terus menekanku menjadi sempurna,” sambung Arletta pilu.

Nathaniel menatap adik perempuannya itu lekat, tangan kanannya terulur mengusap lembut surai kelam milik Arletta. “Abang is here for you; don't feel alone.”

“Kebenaran akan menemukan jalannya sendiri untuk keluar, you believe that, right?” Arletta mengangguk singkat.

“Oma must be proud of you. Her only granddaughter has made it through a lot.” Nathaniel beralih menatap langit malam, tangan kirinya menunjuk salah satu bintang paling terang di malam itu. “Bintang memiliki cahayanya sendiri untuk bersinar. Seperti kamu yang selalu bersinar tanpa bantuan siapa pun.”

“Tapi aku lebih suka gelap,” celetuk Arletta.

Nathaniel menatap Arletta datar. “That's not what I meant.” Arletta tertawa kecil melihat raut kesal dari kakaknya.

“Thank you for always believing in me,” ucap Arletta tulus.

“Even if others doubt you, I’ll always believe you.”

Arletta memeluk tubuh atletik milik Nathaniel, rasanya hangat dan nyaman. Paras tampan Nathaniel persis seperti Albern. Memeluknya seperti ini Arletta seperti memeluk Albern dalam versi lebih muda. Jika saja tiga tahun lalu mereka tidak menuduh Arletta atau Arletta tidak ada di kamar Nelie saat kejadian itu, mungkin saja saat ini Arletta masih bebas memeluk Albern.

“Jangan melakukan hal nekat yang membahayakan diri kamu sendiri, Arletta.”

𓇼 ⋆.˚ 𓆉 𓆝 𓆡⋆.˚ 𓇼

˚ 𓇼

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Last but Not Least Where stories live. Discover now