#42 There is No Game

853 54 5
                                    


Tak memedulikan beberapa petugas yang menjaganya, Brie bersandar di salah satu mobil polisi, menunggu seorang atasan yang tadi diajaknya berdebat. Meski sudah ada di situ selama lebih dari dua jam, ia belum mendapat kabar apa-apa. Namun, ia masih bisa memakluminya. Rencananya ini butuh persiapan matang dan persetujuan dari orang-orang di tingkat atas.

"Baiklah, kamu sudah bisa melakukannya, mereka sedang dalam perjalanan. Pelaku ada di studio satu," terang seorang atasan polisi pria berbaret biru. Dengan langkah tegap dan berwibawa, polisi berpangkat tinggi itu mendatangi Brie. Beberapa saat yang lalu, ketika akan menangkap Brie, beliau mendapat telepon lalu pergi menjauh.

Brie menjulurkan tangannya sambil berkata ramah, "Terimakasih, Pak. Senang bisa membantu."

Sang atasan menjabat kencang tangan Brie dan menariknya. Di dekat telinga gadis itu, ia berkata lirih, "Jangan anggap saya akan memercayaimu. Saya membiarkanmu masuk karena mendapat perintah dari pimpinan. Ini bukan main-main."

"Ya, ini bukan main-main," timpal Brie pelan, tak mau ambil pusing memikirkan kenapa rencananya ini bisa disetujui dengan cukup mudah, padahal dirinya sudah memikirkan alternatif lain. "Satu lagi, saya minta pistol saya dikembalikan."

Setelah melepaskan jabatan tangan itu, sang atasan memberi isyarat kepada salah satu polwan yang tadi menggeledah Brie.

"Siap, Pak." Polwan itu langsung menyerahkan sepucuk pistol hitam kepada Brie.

"Terimakasih," ucap Brie sambil tersenyum, menyelipkan pistolnya yang tadi disita itu ke belakang celana. Sedikit mengangguk kepada sang pimpinan, Brie lalu menghampiri gedung bioskop. Tak mengikuti jejak pasukan khusus, ia memilih untuk masuk lewat gerbang depan.

Apakah rasa takutnya telah menghilang? Tidak, jantungnya justru seperti sedang dipompa dengan sangat keras. Bagaimana dengan amarahnya? Keinginan membalas dendamnya? Rasa kehilangannya? Kesedihannya? Semuanya masih ada. Hanya saja, ia berusaha sekuat tenaga agar semua itu tak menguasai dirinya.

Selama hampir sebulan, ia terus merenung, menyalahkan dirinya sendiri yang terus membiarkan emosi-emosi itu berkembang, membuatnya menjadi lengah. Harga yang harus dibayarnya sungguh mahal. Ia benci mengakuinya, tapi Steph memang benar.

Apakah ia ingin semua emosi-emosi itu hilang? Tidak. Justru dengan semua itu—meski dirinya kini merasa sendirian lagi, kendati ia sadar masa depannya sudah tidak ada—ia merasa menjadi manusia yang sebenar-benarnya.

Ya, dirinya bukan mesin pembunuh lagi.

Begitu sampai di depan gerbang, Brie berhenti, menghela napas panjang, baru kemudian masuk. Dengan langkah begitu cepat, ia melewati bagian penjualan tiket dan area tunggu, sebelum akhirnya membuka pintu salah satu ruang bioskop. Matanya langsung disambut oleh pemandangan mayat-mayat yang terikat dan bergelimangan darah. Hatinya jadi ingin meronta, tapi sekali lagi, ia tetap mempertahankan ketenangannya.

"Ahahahaha!!! Aku sudah menunggumu sedari tadi, Brie." Sekar menuruni tangga tribun dengan muka dan badan yang berlumur darah. "Aku sampai bermain-main dengan tawananku saking bosannya."

"Hey you, Ultimate Crazy Shit," sapa Brie dengan nada santai, kembali mengaktifkan kekuatannya.

Brie menghentikan langkahnya, sementara Sekar terus berjalan. Gadis gila itu baru berhenti saat jaraknya dengan Brie hanya tinggal dua meter. Setelah beberapa detik saling memandangi satu sama lain, mereka memasang kuda-kuda.

Trang!

Sekar menebaskan sabitnya dan Brie menangkis dengan gelang pedang emasnya. Setelah itu, Sekar melancarkan sabit di tumitnya ke pelipis Brie. Dengan sigap, Brie menangkap kaki itu, kemudian menyapu kaki Sekar yang satunya.

Golden EnigmaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora