#27 Surprise

663 49 9
                                    

"Mail, tolong pindah ke depan sebentar," pinta Brie setelah melewati rumah tujuan. Sehabis mengintai rumah itu sekilas dan menemukan beberapa penjaga, ia memakirkan mobil Revan di lokasi yang agak jauh.

"Eh, tapi kan aku ndak bisa nyetir," timpal Mail dengan mata mengilat bingung.

"Aku cuma ada urusan sebentar dengan bu nyai." Brie keluar lalu membuka pintu di samping Mail.

Meski masih belum mengerti, Mail tetap beranjak dari tempatnya. Melihat kesempatan, Pratista berusaha kabur, tapi Brie segera mendorongnya untuk masuk kembali.

"Tenang, saya tidak akan melukai Bu Nyai," ucap Brie, duduk di samping Pratista. "Saya cuma meminta Bu Nyai membelakangi saya."

Pratista melongo cukup lama, sampai Brie menyeringai seperti kucing. Terkejut, Pratista akhirnya berbalik. Tiba-tiba, Brie melingkarkan lengannya ke leher Pratista dari belakang. Merasakan cekikan kuat, Pratista kesulitan bernapas. Mukanya pun memerah.

"Brie! Kamu lagi ngapain?" Mail berusaha melepaskan tangan Brie. Namun, gadis itu langsung bisa menghindar.

"Tenang, ini cuma teknik untuk menidurkan, kok. Kamu tidak mau dia kabur waktu kita menyerang rumah itu, kan?"

Walau masih terlihat cemas, Mail tetap menarik tangannya. "Kenapa ndak diikat aja?"

"Kalau cuma diikat, nanti dia berontak. Bisa-bisa mobil ini bergoyang-goyang. Orang akan mengira kalau di dalam sini ada yang melakukan seks." Mendapati Pratista sudah memejamkan mata, Brie melepaskan kunciannya.

"Kamu memikirkan semuanya secara detail, ya?" puji Mail.

Cuma mengangkat bahu, Brie membaringkan tubuh Pratista ke kursi.

"Sekarang dengarkan baik-baik rencanaku. Sebenarnya aku kurang suka cara yang pasti menarik perhatian seperti ini, tapi kita tidak punya pilihan lain. Kita tidak bisa menunggu sampai malam. Nanti Tiara keburu dibunuh," tutur Brie cepat, melemparkan kacamata hitam dan selembar slayer kepada Mail, yang langsung melongo.

***

Sambil mengelilingi papan karambol besar, empat orang pria duduk di lantai pelataran sebuah rumah. Masing-masing memegang batang rokok yang menyala. Karena belum ada kejadian yang berarti saat menjaga hunian paling besar di perumahan itu, mereka tak punya kegiatan selain merokok dan bermain-main. Yang ditugaskan untuk mencari Pratista adalah pengikut-pengikut Sekar sendiri.

"Jadi, bos Lu dulu itu cewek juga, ya?" tanya seorang pria dengan rambut gondrong dikucir, menyentil keping karambol yang meleset jauh.

"Iya, bos gue itu kayak blasteran, cantik banget. Tapi yah, nggak gila kayak di sini," balas pria botak dengan tubuh penuh tato, menyesap rokoknya dalam-dalam.

Pria lain yang berbadan kekar bergidik. "Ati-ati loh, bisa-bisa Nona Sekar denger. Aku tadi gemeteran waktu dipanggil."

"Ah, mana bisa denger?" balas si pria botak santai, melirik hunian sementara bos barunya itu.

"Eh, tapi pada kepikiran nggak, sih? Masa butuh orang segini banyak buat ngejagain rumah doang?" Pria lainnya lagi—bertubuh ceking dengan gigi agak tonggos—ikut nimbrung.

"Masalah orang kaya," ucap si botak, sedikit bersiul saat keping yang disentilnya mengenai sasaran sampai masuk. "Kita nggak usah mikir macem-macem. Asal kerja, terus dapet duit..."

Bum!

Mendengar suara ledakan itu, keempatnya langsung menoleh ke arah pintu gerbang. Dari jalanan, terlihat asap putih yang bergulung-gulung pekat menutupi pandangan.

"Apaan, tuh?" tanya si kekar.

"Kalian berdua cek, gih," si gondrong mendorong si ceking dan si botak untuk maju.

Kendati berdecak kesal, si botak tetap mendatangi pintu pagar bersama si ceking. Di sana, keduanya melongok-longokkan kepala untuk memeriksa kumpulan asap itu. Sesekali mereka terbatuk dan menyipitkan mata yang perih.

"Keluar dong! Ah, kok nggak ada inisiatifnya, sih!?" pekik si gondrong.

Berdecak lagi, si botak mengeluarkan kunci gembok dari sakunya lalu membuka pintu pagar.

Begitu pintu itu berderit karena dibuka, Mail dan Brie keluar dari asap. Masing-masing memakai kacamata hitam beserta slayer yang menutupi mulut.

Tak sempat berbuat apa-apa, si botak harus menerima tabrakan perisai dari Mail, membuat tubuhnya terlempar, menabrak pagar, dan pingsan. Sementara itu, Brie menghajar pipi si ceking. Saat si ceking berbalik karena efek pukulan, Brie memeluk perutnya. Kemudian, gadis itu melemparkan tubuh si ceking ke belakang, berbarengan dengan dirinya yang menjatuhkan diri.

Bugh!

Si ceking langsung tak sadarkan diri saat tengkuknya membentur paving dengan keras.

Tak membuang waktu, Brie dan Mail masuk melalui pintu pagar yang terbuka. Melihat dua orang yang tersisa berlari menghampiri mereka, Brie mengambil satu bom Molotov dari tas ransel yang dicangklongkan di dadanya. Setelah menyalakan sumbunya dengan korek gas, Brie melemparkan bom itu.

Begitu bom meledak di hadapan mereka, dua orang itu langsung tertutup asap pekat. Mail berlari mendahului Brie dan berjongkok, kemudian menutupi kepalanya dengan perisai. Brie mempercepat larinya, melompat, lalu menjejak perisai itu. Dengan dibantu tolakan dari Mail, tubuh Brie pun melayang tinggi.

Ketika sudah akan tiba di loteng lantai dua rumah itu, Brie melindungi kepalanya dengan tangan.

Brakkk!!!

Begitu tubuh Brie menabrak pintu loteng, pecahan kaca dan potongan kayu berserakan. Brie pun berguling di salah satu kamar rumah itu.

"Selamat datang," sapa Gisel yang berdiri di tengah kamar.

"Maaf aku datang ke sini bukan untuk bertamu," balas Brie, melepaskan kacamata hitam dan membuangnya begitu saja.

Saat bangkit, Brie mendapati Tiara tengah menduduki sebuah kursi di sudut ruangan. Brie langsung membelalakkan mata saat menyadari kondisi Tiara yang mengenaskan, dengan tubuh tak bergerak, mata begitu merah yang menatap ke atas, mulut terbuka yang meneteskan-neteskan liur, serta kedua pipi yang penuh dengan bekas aliran cairan bening.

"Apa yang kamu lakukan kepadanya!?" hardik Brie, menurunkan ransel di dadanya.

"Sedikit ini dan itu," ucap Gisel seraya mengeluarkan sulur merah dari pinggangnya, sekaligus membiarkan setiap inchi kulitnya dihiasi pola-pola merah bergelombang. "Bukankah kamu belum lama mengenalnya? Kenapa kamu peduli dengannya?"

"Bukan urusanmu," timpal Brie, bersiap untuk menyerang.

***

Mail memasang kuda-kudanya dan menunggu. Tugasnya adalah membuat keributan di halaman, sehingga sebagian penjaga yang mungkin ada di dalam akan keluar. Hal itu akan mengurangi halangan Brie di dalam rumah. Syukur-syukur satu dari dua gadis gila itu ikut keluar. Paling tidak Mail bisa menahan mereka sebentar.

Tak berapa lama, dua penjaga keluar dari asap dengan terbatuk-batuk dan mata yang terus mengerjap. Melihat Mail, mereka buru-buru mengeluarkan pisau lipat dari sakunya masing-masing.

"Hei, kita butuh bantuan di sini!!!" pekik salah satu dari mereka.

"Tidak perlu!" Teriakan Sekar terdengar cukup dekat.

Mail langsung menoleh ke pelataran rumah. Sekar ada di sana, berjalan ke arah Mail dengan senyum sangat lebar.

"Kalian bantu yang di dalam saja!" bentak gadis itu kepada dua cecunguknya. "Biar aku yang melawannya!"

Setelah berpandangan sejenak, dua pria itu berlari memasuki rumah, sementara Sekar mulai tertawa-tawa.

Mail menelan ludah dan sedikit mundur. Tawa itu selalu membuat dadanya seperti digigiti taring-taring kecil.

"Benar-benar cara masuk yang heboh!" Sekar berhenti hanya beberapa meter di depan Mail, memandangi kobaran api berasap tebal di jalan dan halaman. "Ayo kita bikin lebih heboh lagi!!!"

Sambil memasang kuda-kuda, Sekar memunculkan pola-pola garis lengkung perak di tubuhnya. Kembali tertawa-tawa, ia berlari ke arah Mail dengan sabit yang baru keluar dari kedua tangannya.

Golden EnigmaWhere stories live. Discover now