#35 The Kid

659 50 0
                                    

"Kan sudah saya bilang, saya yang akan bayar!" Brie menggebrak meja resepsionis IGD, menyeringai kepada petugas perempuan berbaju batik yang menjaga di sana. "Jadi, cepat obati mereka!"

Petugas itu meringis ketakutan. "Tapi, kalau tidak ada keluarganya..."

Brie mendengus dongkol, merasa bodoh sudah berdebat cukup lama. "Anggap saja saya ini keluarga jauh mereka dari USA!"

Seorang petugas lain tergopoh-gopoh menghampiri Brie. "Itu sudah ada yang menangani kok, Bu. Maafkan Mbak ini, dia baru beberapa hari kerja di sini."

Brie memajang wajah galak lalu pergi tanpa mengatakan apa pun. Saat mendapati si balita duduk di sebelah Mail dengan wajah murung, gadis itu menghela napas. Sogokan makanan ringan dari Mail tak terlalu berguna. Karena jarang menghadapi anak-anak, Brie jadi tak bisa berbuat banyak.

Baru berjalan beberapa langkah, Brie menemukan selembar brosur yang tergeletak di salah satu kursi tunggu. Teringat misinya mendekati target yang menggilai origami, Brie meraih brosur tersebut. Sambil terus berjalan, Brie mulai melipat-lipat brosur itu, mempraktikkan ilmu seni yang dipelajarinya hanya untuk satu misi.

Brie lalu duduk di samping si balita dan menyerahkan bunga kertas hasil buah tangannya. Si balita menerima bunga itu, mengamatinya sebentar lantas membuangnya begitu saja. Dengan wajah tanpa dosa, bocah itu kembali menikmati makanan ringan pemberian Mail.

Mail segera menutupi mulutnya untuk menahan tawa, sementara Brie meringis jengkel. Gadis itu ingin sekali menjitak si balita. Namun, seorang pembunuh bayaran pun tahu, menjitak kepala anak polos seperti itu adalah perbuatan tercela.

"Sedang berpura-pura menjadi ibu dan anak?"

Brie seperti terkena serangan jantung kecil. Suara dari sampingnya itu sangat familier di telinganya. Memegangi keningnya karena makin jengkel, Brie menoleh ke arah suara itu berasal. Benar saja, ada Steph di dekatnya, berdiri sambil bersandar di dinding.

"Jadi, bagaimana misimu?" tanya wanita tua itu dengan bahasa Inggris. Ia memandang ke arah lain seraya membenarkan letak kacamata hitam di wajahnya.

Brie mati-matian menyembunyikan rasa jengkelnya agar tak terlihat di wajah. Ia menarik Steph untuk mengikutinya sembari menoleh ke arah Mail. "Sebentar ya, Mail."

Setelah membawa Steph ke sudut rumah sakit yang kosong, Brie langsung bertanya dengan nada yang dibiasa-biasakan, "Ada urusan apa denganku?"

"Oh, tidak bolehkan aku merasa khawatir kepadamu?"

"Jangan mengajakku bermain sarkasme, Steph. Jawab pertanyaanku."

Steph mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Mungkin karena aku mendapat laporan aneh kalau kamu melakukan hal-hal yang tidak perlu, menyelamatkan orang lain misalnya?"

"Kau mengawasiku?" Brie mengernyitkan dahi, tak percaya dengan pendengarannya sendiri. "Sebelumnya kau tak pernah mengirim orang untuk mengawasiku, Steph. Sebenarnya ada apa?"

Menghela napas, Steph melepaskan kacamata hitamnya lalu memandang wajah Brie dalam-dalam. "Aku sudah mendengar kekacauan di pesta pernikahan anak Deny Kusuma. Aku tak percaya kau jadi ceroboh seperti itu, Kid. Kau mengulangi kesalahan yang sama seperti di rumah persembunyian anak Don Felipe. Kau terlalu banyak mengundang perhatian."

"Bukan salahku kalau lawanku ingin membuat kekacauan," bantah Brie, benar-benar berusaha keras menekan kejengkelannya. "Lagipula, sampai sekarang polisi belum mengejarku. Semuanya masih aman, Steph."

"Itu hal yang tidak ingin kudengar." Nada bicara Steph mulai meninggi. Ia menekan dada Brie dengan jarinya. "Apa kau tahu hal seperti ini kusebut apa? Aku menyebutnya sebagai kelengahan. Setelah kejadian di pesta pernikahan itu, seharusnya kau pulang saja untuk bersembunyi. Setelah suasana cukup tenang, silahkan kembali lagi untuk mencari jawaban."

"Aku tidak bisa, Steph." Brie membuang muka, tak bisa membayangkan kalau Steph tahu misinya telah berubah. "Hal ini penting bagiku dan aku harus melakukannya sekarang."

Steph tertawa meremehkan. "Aku juga tahu kau terlibat kekacauan-kekacauan lain setelah pesta pernikahan itu. Sebentar lagi wajahmu akan terkenal seantero negeri, Kid."

"Aku tinggal melakukan operasi plastik. Katanya banyak dokter yang bisa mengubah wajah seseorang menjadi berbeda 180 derajat," balas Brie asal-asalan.

"Apa?" Steph mengamati wajah Brie yang tak menatapnya. "Kau tahu, setelah kejadian di rumah persembunyian anak Don Felipe, aku sudah bisa merasakan perubahan dalam dirimu. Tapi, aku tak pernah menduga perubahanmu itu bisa sedrastis ini. Dulu, kau selalu menuruti saranku tanpa membantah... Hei, tatap mataku!"

Steph menarik dagu Brie dengan sedikit kasar. Brie terpaksa menatap wajah mentornya itu. Steph langsung terkesiap saat mendapati lapisan cairan bening di mata anak didiknya.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Steph melepaskan tangannya dan mundur, sementara Brie kembali membuang muka.

"Tidak ada apa-apa," jawab Brie, berusaha sekuat tenaga agar air matanya tidak turun.

"Hoo... Barangkali kau ingin menikahi pria itu? Kau membantu anak kecil itu supaya kau bisa berpura-pura sudah berkeluarga?" ejek Steph sengit. "Asal kau tahu saja, kehidupan seperti itu mustahil untukmu, Kid. Orang yang paling bisa disebut keluarga bagimu itu cuma aku. Kau tidak punya apa-apa selain aku..."

"Benarkah?" potong Brie, menatap tajam mata Steph. "Yang aku ingat, dulu kau menitipkanku kepada seorang monster yang selalu memberikan sarkasme dan candaan garing. Kau menemuiku di saat-saat tertentu saja."

Tertawa getir, Steph mendekatkan mukanya ke wajah Brie. "Aku tadi belum selesai. Kau tidak punya apa-apa selain aku, tapi kita ini bukan keluarga. Aku ini bukan ibumu."

Perkataan itu seperti meremas habis-habisan hati Brie. Ia jadi bisa menyimpulkan satu hal: dari dulu dirinya cuma sendiri saja di dunia ini, tidak seperti Revan yang mempunyai kekasih tercinta, tidak seperti Mail yang hidup damai dengan anak-anak panti dan ibu asuhnya, tidak juga seperti Tiara yang disayangi oleh keluarganya.

Tak sanggup membendung air matanya, Brie membalikkan badan. "Aku selesai denganmu."

"Lalu, apa rencanamu setelah ini, Kid?"

"Bukan urusanmu," jawab Brie, menyeka setetes cairan bening di ujung matanya.

Tak mendapat tanggapan dalam waktu cukup lama, Brie sedikit melirik ke belakang. Namun, ia tak melihat Steph di sana. Saat memandang berkeliling, ia juga tak menemukan mentornya itu di mana pun.

Brie menghela napas sambil bersandar di dinding. Mendapati Mail menghampirinya, ia buru-buru menghapus sisa air matanya.

"Siapa itu tadi?" tanya Mail hati-hati, sadar kalau Brie baru saja menangis.

"Ah... Bisa dibilang itu ibu angkatku. Kadang-kadang dia menyebalkan." Brie mengarahkan pandangannya kepada si balita yang sudah dikerubungi beberapa orang. "Mereka kerabatnya?"

"Iya, mereka keluarganya."

"Kalau begitu... Bagaimana kalau kita kembali ke hotel? Yah, itu kalau kamu tidak keberatan."

Mail mengangguk pelan. "Oke."

Brie langsung berjalan cepat meninggalkan rumah sakit. Yang ingin dilakukannya sekarang adalah membenamkan kepala ke bantal dan menangis sejadi-jadinya.

Golden Enigmaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن