#39 Two Sides

632 49 0
                                    

Seorang pria merayap di gang sempit yang remang, menjauhi sesosok wanita yang baru saja menghajar kelima teman minumnya sampai pingsan. Kalau bisa, ia akan berlari kabur saja, tapi nyeri lutut bekas tendangan wanita itu masih terasa begitu jelas, bahkan sampai membuatnya tak bisa berdiri.

"Kalian minum apa, sih? Baunya seperti campuran alkohol, air got, dan cairan pembersih lantai." Sambil membaui botol miras oplosan yang tadi diminum korbannya, wanita itu keluar dari kegelapan. Sambil menyipit tak nyaman, ia melemparkan botol minuman itu ke samping si pria, yang langsung beringsut dan merapatkan diri ke tembok.

"Am... Ampun!!!" Si pria memohon ketakutan kepada wanita berbaju hitam-hitam itu.

"Ini semua akan lebih mudah kalau kalian menjawab pertanyaanku tadi." Brie yang memakai slayer di mulutnya mencengkeram kerah si pria.

"Sumpah, saya nggak tahu apa-apa!"

"Bohong!!!" Brie memaksa pria itu berdiri lalu menghajar pipinya. "Kalian pernah menjadi orang suruhan Sekar! Kalian pasti tahu tempat tinggalnya sekarang!"

"Sumpah! Saya udah nggak kerja sama dia lagi! Habis dibayar, saya nggak berhubungan dengan Nona Sekar lagi! Jadi, saya nggak tahu dia ada di mana!"

"Bohong!" Belum puas, Brie mengeluarkan pedang emasnya dari tangan kiri. Tanpa ampun, ia menusukkan pedang itu ke dinding di samping telinga si pria. "Kamu masih ingin punya 'burung', kan?"

Si pria yang syok sampai tak bisa berkata-kata. Mencium bau pesing, Brie menengok ke bawah. Ia langsung melepaskan cengkeramannya saat melihat celana si pria yang kini basah. Merasa jijik, Brie menendang kepala pria itu sampai tak sadarkan diri.

Brie menggigit bibirnya. Sudah hampir sebulan ia terus mendatangi para pengikut dan orang suruhan Sekar guna mencari petunjuk, tapi hasilnya selalu seperti ini: nihil.

***

Sekar menutul-nutulkan ujung sabit peraknya ke pipi Pratista. Tak mendapat respon, Sekar menendang kursi yang diduduki Pratista sampai rubuh. Pratista terjatuh dengan rambut menutupi wajahnya, masih saja tak memberi tanggapan apa-apa.

"Akhirnya rusak juga," racau Sekar ogah-ogahan.

Pintu ruang kosong berbau apek itu menjeblak terbuka. Martin masuk dengan ekspresi tegang. Matanya terhujam lurus ke muka Sekar.

Sekar mendengus malas, "Ada apa Martin..."

Sekonyong-konyong, Martin menarik kerah baju pemimpinnya itu. Sekar sendiri tak terpengaruh, hanya memandang Martin dengan ekspresi meremehkan.

"Kamu sudah berjanji akan menyembuhkan anakku!" bentak Martin di muka Sekar.

"Loh, aku sudah melakukannya, kan?" ledek Sekar, terkikik geli.

Martin melotot. "Tapi, kenapa dia bisa meningg... Ugh!!!"

Memegangi lehernya yang mulai mengucurkan darah segar, Martin melepaskan cengkeramannya. Ia tak menyadari kedatangan ujung sabit Sekar yang baru saja merobek kulitnya, menyarangkan nyeri tak tertahankan. Dengan mata membelalak dan napas yang habis, pria itu pun rubuh.

"Aku dulu sudah menyembuhkannya, tapi kalau kistanya kembali lagi, itu kan bukan urusanku," ucap Sekar sambil mengangkat bahu.

"Bagus sekali, kau sudah menghabisi pengikutmu yang paling setia. Sekarang kau sendirian di sana." Suara si Merah seolah merajami telinga Sekar.

Sekar melemparkan dirinya ke kursi. "Biarkan saja. Toh, dari dulu aku cuma mengumpulkan orang-orang untuk menang dari kalian. Tapi, sekarang aku sudah menemukan sesuatu yang lebih menarik daripada berperang."

"Huh, apa menariknya membantai orang-orang sendirian saja?" tanya Reagnum yang lain.

"Ahahahaha! Kamu bodoh sekali! Aku membunuh mereka semua untuk memancingnya! Kalian tahu, kan? Saat dia marah, kemampuan bertarungnya jadi berlipat-lipat!" Sekar bangkit dari duduknya, mulai berjalan mondar-mandir. "Seiring dengan korban manusia yang terus bertambah, kemarahannya pasti akan terus membesar! Ahahahahaha!!!"

Suara-suara Reagnum mulai mendengungi telinga Sekar kembali. Keinginan mereka untuk turun ke bumi sudah begitu besar, tapi Sekar tak menunjukkan tanda-tanda akan melakukan ritual pembangkitan itu. Tentu saja mereka sangat marah dan jengkel dibuatnya.

Sekar sendiri sudah tak peduli dengan mereka. Ia terus saja tertawa. Ia makin menikmati semua ini.

"Sebentar lagi! Sebentar lagi!!! Ahahahahaha!!!"


Golden EnigmaWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu