#25 Tales From Mad Lady

778 57 6
                                    

Dada Brie seolah ditekan keras-keras. Suasana ruangan itu kini menjadi berat. Beberapa detik sudah berlalu, tapi tak ada yang angkat bicara. Masing-masing dari mereka sibuk mencerna kata-kata Pratista barusan.

"Jadi, setelah mati..." Tercekat, Brie berusaha menyingkirkan bayangan dirinya yang membunuh Gisel dari otaknya, "...mereka itu dirasuki setan, begitu? Omong kosong yang menarik."

"Bohong!" bantah Revan lantang.

Tak memedulikan Revan, Pratista melanjutkan ceritanya, "Semuanya berawal ketika aku mendengar suara-suara aneh tanpa wujud. Aku masih sangat muda waktu itu. Awalnya terdengar seperti racauan-racauan tak jelas, tapi lama-kelamaan suara-suara itu menggunakan bahasa manusia."

"Apa Bu Nyai tidak memikirkan kemungkinan kalau Ibu ini mulai gila?" Brie bersandar di dinding sambil bersedekap.

"Tentu saja." Pratista tersenyum getir. "Awalnya aku takut. Aku juga bolak-balik masuk rumah sakit jiwa. Tapi, lama-lama di sekitarku terjadi keajaiban..."

Dengan tangan gemetar, Pratista mengusap mukanya. "Awalnya, toko pakaian orangtuaku mendadak jadi sangat ramai. Suara-suara itu berkata keanehan itu terjadi karena mereka. Mereka menggunakan tubuhku sebagai perantara, mengirimkan semacam sinyal untuk menarik orang-orang yang lewat untuk datang ke toko."

"Itu... Seperti pesugihan yang biasa kamu katakan ke pengikutmu?" tanya Wilis dengan mata sedikit membelalak.

"Begitulah. Tentu saja awalnya aku tidak percaya dan mengabaikan mereka, sampai pada suatu hari toko orangtuaku itu tak didatangi pembeli sama sekali. Itu berlanjut sampai berhari-hari. Kedua orangtuaku jadi sering bertengkar karenanya. Suara-suara itu pun berkata bahwa ini semua gara-gara aku yang tak memercayai mereka. Singkat cerita, yah... Akhirnya, aku berjanji akan memercayai mereka. Dan satu hari setelah aku mengatakan hal itu... Bayangkan, hanya satu hari!" Pratista menunjukkan jari telunjuk kanannya. "Toko itu langsung ramai kembali."

Meski Pratista menghentikan kata-katanya untuk mengambil napas, yang lain tidak menanggapi. Seperti tadi, mereka masih berusaha mencerna keterangan Pratista.

"Aku merasa mendapat kekuatan dan keajaiban. Aku merasa bisa melakukan mukjizat." Suara Pratista melirih. Ia sedikit membungkuk dengan raut ketakutan yang makin kentara.

"Mukjizat? Seperti membuat laki-laki mengerti perasaan wanita? Memunculkan sinyal handphone di tempat terpencil?" cela Brie sengit.

Pratista menggeleng keras. "Dengan bantuan mereka, aku bisa membantu seseorang agar pujaan hatinya jadi jatuh cinta kepadanya, menguatkan aura orang agar jadi lebih menarik, menyembuhkan penyakit, dan masih banyak lagi. Pokoknya, mereka memberikan cara-cara instan yang banyak dicari orang. Lama-lama aku jadi tamak. Aku menggunakan semua itu untuk kepentingan sendiri."

Brie menunjuk muka Pratista, memandangi orang-orang yang ada di situ sambil tersenyum. "Orang ini Duku."

"Dukun," ralat Mail.

"Bisa dikatakan seperti itu. Tapi, dibanding paranormal biasa, kemampuanku ini jauh lebih kuat. Banyak juga paranormal yang berkata kemampuanku ini berbeda dengan kemampuan mereka," lanjut Pratista.

"Dukun super." Brie melanjutkan celaannya, sama sekali tak memedulikan ekspresi protes Mail. Kalau tak mendapat kekuatan aneh di tubuhnya, Brie sudah pergi sejak tadi, kabur dari dongeng tak masuk akal ini.

Tak menghiraukan ejekan Brie, Pratista kembali meneruskan, "Sampai pada suatu hari, suara-suara itu memintaku untuk mengumpulkan pengikut. Karena merasa dibantu olehku, banyak yang secara sukarela menjadi pengikutku. Bagi yang tidak? Yah, aku disuruh mengancam mereka, kalau tak mau jadi pengikut, maka bantuanku akan dicabut, yang bisnisnya sukses jadi bangkrut, yang punya istri hasil karena dipelet akan bercerai..."

Golden EnigmaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora