#28 Choices

642 52 2
                                    

Sembari menerjang maju, Brie menangkis serangan sulur-sulur Gisel dengan pedangnya. Gisel bergerak menghindari sang musuh yang sudah cukup dekat, tapi Brie justru menjambak rambutnya. Begitu keningnya dihantam kepala Brie, Gisel mundur dengan sedikit sempoyongan.

Tanpa ampun, Brie menendang tulang rusuk musuhnya itu keras-keras. Saking kuatnya tendangan itu, Gisel sampai terlempar, menghantam pintu kamar sampai hancur, dan terhempas ke luar.

Brie segera melompat, menukikkan ujung pedangnya kepada Gisel yang telentang. Namun, Gisel berhasil berguling mengelak. Saat itu, terdengar suara teriakan beberapa pria suruhan yang baru datang dari lantai bawah.

Melihat pria-pria yang membawa golok itu mendekatinya, Gisel berteriak, "Serang dia!!!"

Brie langsung berputar dengan menghunuskan pedangnya. Pria-pria itu pun berhenti untuk menghindari sabetan pedang Brie.

"Ada yang mau mencicipi?" ucap Brie sambil tersenyum, bermaksud menakut-nakuti mereka.

Tanpa diduga-duga, sulur Gisel menjerat leher salah satu pria dan mengangkatnya tinggi-tinggi. "Jangan ada yang lari, atau nanti kalian akan bernasib sama seperti dia."

Para pria lain yang sudah akan mengambil langkah seribu langsung mematung. Mendapat halangan dari tiga sulur Sekar, mata mereka kini memancarkan kengerian yang mendalam.

"Sekarang permainan apa yang akan kamu lakukan?" geram Brie. Bisa saja ia menyerang sekarang. Namun, seperti beberapa hari terakhir, ia tak bisa membiarkan nyawa orang lain melayang begitu saja.

"Sejujurnya, aku kurang suka bertarung." Gisel menjauhi Brie, sementara orang yang dijeratnya berontak makin keras. "Jadi, aku akan membiarkan mereka melawanmu, kalau tidak..."

Krakk!

Brie dan pria-pria suruhan langsung tersentak. Tangan dan kaki pria yang dijerat Gisel kini terkulai lemas. Begitu tubuh pria itu dilepaskan dan jatuh ke lantai, lehernya langsung menekuk ke arah yang salah.

"Satu, dua, tiga, empat, lima..." Gisel menghitung pria-pria yang lain. "Kalian saja yang bertarung, ya? Kalian harus melindungiku dari serangannya, tapi kalian harus maju satu-satu agar seimbang."

"Jangan dengarkan dia," bujuk Brie kepada para pria yang kini saling berpandangan satu sama lain. "Dia cuma mau main-main dengan kalian."

Gisel menunjuk mayat pria yang baru saja dibunuhnya. "Oh iya, kalau kalah atau melawannya terlalu lama, kalian juga akan mati seperti dia."

Pria-pria itu masih saling berpandangan, tidak memperlihatkan tanda-tanda akan bergerak. Hanya satu orang—dengan rambut gondrong yang dikucir—yang melakukan hal berbeda. Ia menunduk dengan napas liar.

Brie menggigit bibir. Ia benar-benar mati kutu. Kalau dirinya menyerang Gisel, maka kemungkinan besar sulur-sulur yang sudah dekat dengan pria-pria itu akan melakukan hal mengerikan. Melawan mereka satu-persatu? Bisakah dia mengontrol diri untuk tak membunuh mereka? Haruskan ia mematikan kekuatannya agar dirinya tak kelepasan? Tidak, bisa-bisa dirinya jadi sasaran empuk bagi Gisel.

Brie terus sibuk dengan pikirannya. Bahkan saat si gondrong sudah mulai menerjangnya dengan membabi-buta, ia belum menemukan solusi yang tepat.

***

Tak diberi kesempatan oleh Sekar untuk membalas, Mail terus melindungi tubuhnya dengan perisai. Serangan gadis itu terus mengalir, tak menunjukkan tanda-tanda mau berhenti.

"Membosankan!" Sekar mengeluarkan sabit dari tumitnya lalu berjongkok, bermaksud menyapu kaki Mail.

Mail melompat waktu sabit itu tinggal beberapa inchi dari kakinya. Tak membuang kesempatan, Mail melancarkan ujung perisainya ke bawah. Sekar yang masih berjongkok sedikit mundur.

Mendapati bagian bawah perisai itu kini menancap di tanah, Sekar menyabetkan sabitnya ke kepala Mail. Namun, Mail berhasil menangkap tangan itu dan memelintirnya. Kemudian, Mail mencabut perisai dan menghantamkannya ke kaki Sekar. Begitu Sekar terjatuh, Mail mengangkat perisainya tinggi-tinggi.

Bukannya menghajar telak Sekar, Mail justru mematung. Ia teringat akan perasaan tak nyamannya setelah menubruk Gisel kemarin.

"Huh? Tidak tega memukul perempuan? Bukannya kamu dulu pernah menyerangku?" Sekar memutar tubuhnya untuk menetralkan pelintiran, sekaligus menendang kaki Mail. Mail yang tak sempat bersiap jatuh terjembab. Namun, pemuda itu berhasil mempertahankan pegangannya di tangan Sekar.

Baru saja Sekar mulai berdiri, Mail menghajar kuat wajah gadis itu dengan perisai, membuatnya terjatuh kembali.

Krakkk!!!

"Arghhhhh!!!" Sekar berteriak kencang saat tepian perisai menghantam lengannya yang dipegang Mail.

"Ma... Maaf...," ucap Mail spontan, tanpa sadar melonggarkan pegangannya.

Sekar langsung menendang perut Mail dan berguling menjauh. Mereka berdua bangkit hampir berbarengan. Mail memegangi perutnya yang sakit, sementara Sekar menunduk sambil terus memijati lengannya yang dihiasi luka kebiruan.

Urgensi untuk meminta maaf kembali muncul di otak Mail. Akan tetapi, ia berusaha menahannya mati-matian. Ya, kalau dalam keadaan normal, dirinya memang berprinsip tak akan menyakiti perempuan. Namun, sekarang dirinya tidak dalam keadaan normal. Ia tak boleh berkompromi.

"Bagus! Lumayan! Ahahahaha!!!" Sekar mengeluarkan tawa gila khasnya. "Sepertinya kamu pernah ikut beladiri, ya?"

Mail memasang kuda-kudanya lagi, berusaha untuk tidak terintimidasi tawa sang musuh. "Cuma ikut silat waktu SMA."

"Huh, kenapa baru sekarang kemampuan kamu..."

Brakkk!!!

Tanpa diduga-duga, satu motor bebek menyerempet tubuh Sekar sampai terhempas jauh. Mail yang kaget cuma membisu saat si pengendara dan penumpangnya turun dari motor. Saat mereka melepaskan helm masing-masing, Mail melongo kebingungan.

"Gisel mana!?" tanya Revan yang tadi mengendarai motor itu, membuang helmnya dengan sembarangan.

"Eh? Itu... Kalian ndak seharusnya ada di sini!" Mail yang mulai sadar pun berteriak panik.

Wilis berjalan mendekat dan menarik kerah Mail. "Cepat katakan! Tiara ada di mana!?"

Tak tega melihat air muka penuh amarah bercampur kesedihan di wajah Wilis, dengan berat hati Mail menunjuk pintu masuk rumah. Setelah melepaskan cengkeramannya dari kerah baju Mail, Wilis berlari ke sana bersama Revan.

"Aahhh... Aku paling tidak suka diserang dari belakang seperti tadi." Sekar mulai bangkit, terbatuk-batuk sambil memegangi pinggang kanannya. Kemudian, ia melotot dengan wajah yang diliputi ekspresi kemurkaan.

Mail yang tengah menyusul Wilis langsung berhenti. Suhu udara di sekitarnya seolah turun drastis, memaksa tubuhnya untuk bergidik. Saat Sekar bangkit sepenuhnya, Mail bisa merasakan aura gelap seolah memancar dari tubuh gadis itu.

Golden EnigmaМесто, где живут истории. Откройте их для себя