#26 Cocktail

773 52 24
                                    

Dengan ekspresi datar, Sekar mondar-mandir di hadapan beberapa pengikut dan orang suruhan yang berjaga tadi malam. Gadis itu mengamati wajah-wajah ketakutan mereka satu-persatu. Pratista menghilang dari kerangkeng. Jadi, seharusnya ada yang bertanggungjawab.

Bukannya membentak mengikuti amarahnya, Sekar malah berkata pelan, "Baiklah, kalian boleh keluar, tapi segera temukan ibuku itu."

Kaget tak mendapat hukuman apa pun, para pengikut dan orang suruhan itu saling berpandangan. Melihat mereka tak segera pergi, Sekar berdecak kesal. "Cepat! Sebelum aku berubah pikiran!"

Mereka segera membungkuk dan pergi. Begitu pintu ruangan ditutup dari luar, Sekar menggebrak meja.

"Aneh sekali, biasanya kalau mainanmu hilang, kamu akan menyiksa mereka sebagai bagian dari pertanggungjawaban," gumam Gisel, terus memandangi Tiara yang masih saja disiksa dengan gadget VR dan headset, seolah menikmati kejang-kejang kecil yang diderita korbannya itu.

Sekar menggeram jengkel. "Aku tidak sebodoh dulu. Kali ini, aku akan menjaga pengikutku. Aku tidak akan membiarkan mereka punya alasan untuk mengkhianatiku... Argh! Andai saja aku punya kekuatan untuk mencuci otak seperti milik si Hitam!"

"Ah, iya. Kekalahanmu itu selalu terjadi gara-gara pengikutmu yang memberontak," ledek Gisel, tertawa kecil.

Dengan ekspresi makin menegang, Sekar mendekatkan mukanya ke wajah Gisel. "Apa harus kuingatkan lagi kalau ini semua gara-gara kamu? Mungkin yang harus disiksa itu kamu?"

"Kita mau bertarung sekarang? Mana menariknya?" Gisel menengok ke arah Martin yang sedari tadi berdiri di dekat pintu. "Terus, apa tidak apa-apa dia mendengar obrolan kita ini?"

Serta merta Sekar menoleh ke arah Martin. Pria paruh baya itu langsung berjengit hebat, tak sanggup memandang kedua tuannya.

"Kenapa kamu masih ada di sini!? Keluar!!!" hardik Sekar dengan suara menggelegar.

Martin langsung keluar dengan setengah berlari. Ia menuruni tangga sambil terus memegangi dada, merasakan degup jantungnya yang liar dengan telapak tangannya. Melihat wajah asli Sekar hampir setiap hari, ia tak tahu sampai kapan dirinya akan tetap hidup.

Begitu tiba di lantai dasar, Martin mendengar ponsel di sakunya berdering. Saat mengeceknya, ia sedikit mengangkat alis. Nomor yang menghubunginya adalah milik Arga, orang yang seharusnya sudah meninggal.

Menimbang sejenak, akhirnya Martin mengangkat panggilan itu. "Halo?"

"Halo? Syukurlah nomor Bapak masih aktif. Ini Wilis, Pak" Suara Wilis yang serak terdengar dari ponsel Martin. "Langsung saja, Pak. Apa Pak Martin tahu Tiara ada di mana?"

Terkesiap, Martin segera berpindah ke sudut ruangan yang tersembunyi, berharap tak ada yang mendengar. "Aku tidak tahu, Wilis. Jangan hubungi nomor ini lagi."

"Jangan bohong!" bentak Wilis begitu keras, sampai membuat Martin gelagapan. "Pak Martin yang menghubungi suami saya agar menahan mbak Brie dan teman-temannya, kan!? Pak Martin pasti punya hubungan dengan Sekar yang menculik Tiara!"

"Jangan keras-keras, Wilis!" desis Martin grogi, bertepatan dengan dua pengikut yang lewat di dekatnya.

"Maaf." Wilis mulai terisak. Suaranya makin serak. "Pak Martin juga punya anak, kan? Bagaimana kalau Pak Martin ada di posisi saya? Tolonglah, Pak. Saya cuma ingin tahu keberadaan anak saya."

Dada Martin seperti diremas keras-keras. Ia tak bisa membayangkan anaknya disiksa seperti Tiara, sepanjang malam dipaparkan dengan gambar-gambar mengerikan dan suara musik super keras. Ia sudah benar-benar tak tahan menjadi saksi perbuatan keji gadis-gadis gila itu.

Golden EnigmaWhere stories live. Discover now