#9 New Job

1.3K 84 2
                                    

Begitu membuka matanya, Brie langsung melihat plafon sebuah ruangan. Punggungnya juga merasakan sesuatu yang empuk. Saat memeriksa keadaannya sendiri, ia mendapati tubuhnya dibalut pakaian rumah sakit berwarna biru muda, sementara tangan kirinya sudah dipasangi jarum infus.

"Ugh...," rintih Brie saat berusaha bangkit dari kasur. Nyeri di perut dan tengkuknya masih tertinggal dan itu cukup menusuk. Tak punya pilihan lain, ia kembali berbaring, berusaha merangkai kejadian terakhir yang diingatnya.

Ternyata yang berkekuatan aneh tak hanya dirinya. Kendati membunuh banyak orang, Sekar masih punya akal sewaktu menggunakan kekuatan itu. Lain halnya dengan Gisel. Sama seperti Brie saat kekuatan anehnya pertamakali bangkit, sang pengantin wanita juga mengamuk membabi-buta.

Semua itu mengganggu pikirannya, tapi ada satu pertanyaan yang lebih mengganjal di kepalanya: mengapa waktu itu Sekar tak menghabisi nyawanya?

Saat Brie berusaha merilekskan pikirannya yang kusut, seorang pemuda berpotongan rambut undercut rapi memasuki ruangan. Dari mata sipit dan kulit putihnya, Brie langsung mengenali pemuda itu.

"Udah sadar?" tanya pemuda itu dengan mata nanar dan suara serak. Ia berjalan pincang mendekati Brie.

"Revan, ya?" Brie menautkan alis saat mendapati ransel dan koper dorong yang dibawa pemuda itu. "Apa itu barang-barangku?"

"Iya, baru aku ambil dari kamar hotelnya Mbak," jawab Revan, menaruh barang-barang itu di samping dipan rumah sakit. "Terus, masalah biaya rumah sakit jangan dipikirin, aku udah urus semuanya."

"Oh... Well, thanks." Brie meningkatkan kewaspadaannya. Biasanya, orang yang memperlakukannya dengan baik punya agenda tersembunyi. "Tapi, kenapa kamu menolongku?"

Revan duduk di kursi terdekat dan mengusap mukanya. Ia memandang ke arah lain untuk sejenak, baru kemudian bertanya, "Nama Mbak itu Brie, kan?"

"Kamu bisa memanggilku dengan Brie saja, tidak usah pakai Mbak," jawab Brie, merasa kurang nyaman dengan sebutan untuk perempuan itu.

"Oke, Brie." Revan menggaruk-garuk rambutnya gusar. "Errr... Aku bingung mulai dari mana."

"Oke, pelan-pelan saja."

Revan bangkit dan mendekati jendela lantas membuka tirai agar cahaya mentari masuk.

"Sebenarnya apa yang terjadi di resepsi pernikahanku kemarin?" tanyanya.

Brie sedikit menyipitkan matanya untuk menghalau cahaya matahari. "Aku tidak tahu."

"Benarkah?" timpal Revan, berbalik dengan ekspresi yang mengeras. "Jelas-jelas kamu punya kekuatan seperti istriku dan cewek itu. Aku yakin kamu punya sesuatu. Kamu menyembunyikan informasi penting, kan?"

Brie langsung menahan kekesalannya yang mulai menggelegak. "Yah, informasi yang aku punya adalah kalau luka-luka di tubuhku ini masih belum sembuh benar. Seharusnya aku beristirahat."

Revan kembali duduk di kursi lalu menghela napas panjang. "Maaf, istriku baru saja dibunuh dan mayatnya dibawa cewek itu. Polisi memang sedang melakukan pemeriksaan, tapi dari kemarin mereka belum ngasih update apa-apa."

Isi perut Brie seperti dibetot keluar. Revan tidak tahu dirinyalah yang membunuh Gisel. Untuk sekarang, Brie berencana membiarkannya tetap seperti itu. Tak ada gunanya memberitahu. Bisa-bisa ia dilaporkan.

"Kamu beneran tidak punya informasi apa-apa?" desak Revan.

"Tidak." Brie tersenyum penuh arti. Menduga akan terus ditekan untuk menjawab, ia memutuskan untuk memberi sedikit informasi, walau tidak sepenuhnya akurat. "Yah... Paling aku cuma bisa memberitahu mengenai kekuatanku yang bangkit waktu aku terperangkap di dalam perang antar gangster di US. Tujuanku ke sini itu untuk mencari jawaban. Waktu masih bayi, aku diambil dari Indonesia. Orangtuaku sebelumnya ikut semacam perkumpulan atau apalah itu."

Golden EnigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang