Louis Frankie Smith, anak tunggal dari pengusaha properti berdarah Amerika-Indonesia, jatuh cinta pada Arletta Maysha Charlos, seorang gadis beriris pekat. Meski hubungan mereka sudah terjalin selama tiga bulan, Arletta belum juga mencintai Louis-ba...
Malam mulai menyapa kota zambrud berteman gemintang yang membentang di setiap cakrawala petang. Suhu malam ini mencapai 15° C, terbilang rendah untuk musim semi yang seharusnya hangat. Gadis bersurai kelam itu keluar dari kamarnya dan menuruni anak tangga dengan santai.
“Arletta! My little sister,” seru seorang lelaki berambut blonde yang berada di anak tangga terakhir.
“How was today's flight? Do you like your room? Aku yang meminta pelayan untuk tidak pernah mengubah tatanannya,” beber Nathaniel semangat.
Senyum kecil terbit di paras ayu Arletta, dia mengangguk pelan mengiyakan. “It's been a tiring day, but it all goes away when I see that my room is still the same as it was before,” ungkap Arletta.
“I've asked the maids to prepare your favorite dishes for our dinner. Let's have dinner together,” ajak Nathaniel.
Nathaniel merangkul pundak adik perempuannya itu, kemudian mereka berjalan santai menuju ruang makan. Meja panjang dengan dua belas kursi yang mengelilinginya menyapa penglihatan Arletta. Di atas meja makan, berbagai sajian telah tertata rapi. Kedua sudut bibir Arletta kembali terangkat, dia juga merindukan ruangan penuh cerita ini.
Nathaniel menarik salah satu kursi untuk Arletta, setelah keduanya duduk barulah dua orang pelayan datang untuk melayani keduanya. Nayanika milik Arletta berbinar melihat sajian daging sapi tenderloin yang dibungkus dengan adonan puff pastry favoritnya.
“Bon appetit!” ucap Arletta pada Nathaniel.
“Makanlah yang banyak, kamu pasti merindukan beef wellington, ‘kan?” Arletta mengangguk semangat.
Suasana meja makan menjadi hening, hanya suara dentingan garpu dan pisau yang bergesekan. Setelah makan malam selesai, mereka berada di ruang tengah. Nathaniel menuangkan seratus lima puluh mili Penfols Grange, anggur merah paling terkenal dan prestisius dari Australia, ke dalam gelas bordeaux milik Arletta.
“Thank you,” ucap Arletta dengan tersenyum simpul. “My pleasure, Sweetie.”
Aroma dari buah-buahan hitam matang, vanilla, dan tembakau serta rempah-rempah menyapa indra penciuman Arletta saat ia memiringkan gelas ke hidungnya. Saat cairan merah itu mulai menyapa tenggorokannya pertama kali yang terasa adalah buah blackberry dan plum, disusul oleh rempah-rempah seperti lada hitam dan cengkeh. Barulah di akhir nuansa cokelat dan kopi.
“Bagaimana dengan Indonesia? Apa di sana menyenangkan?” tanya Nathaniel membuka pembicaraan.
“Tidak ada yang menarik, sejujurnya aku lebih suka tinggal di sini,” timpal Arletta santai.
“Kamu bisa kembali ke sini kapan pun karena ini juga rumahmu,” balas Nathaniel.
Arletta mengangguk singkat, sudut bibir kirinya terangkat singkat. “Nothing has changed about this house. Unfortunately, I don't feel as comfortable here as I used to.”
ִֶָ 𓂃˖˳·˖ ִֶָ ⋆۫ ꣑ৎ⋆ ִֶָ˖·˳˖𓂃 ִֶָ
Gadis berbalut Chanel 2000s Pearl-embellished Tweed Minidress itu tengah duduk santai menikmati secangkir teh dan membaca buku. Sore ini cuaca mendukungnya untuk bersantai sembari menanti pemandangan indah dari matahari terbenam. Perhatiannya tiba-tiba teralihkan pada gelang yang melingkar di pergelangan tangan kanannya.
Arletta baru menyadari jika ada angka yang terukir di sana. Di balik gelang mewah tersebut Louis mengukir tanggal anniversary mereka, 060723. Kedua sudut bibir Arletta terangkat begitu saja tanpa ia sadari, ia tahu betul apa makna dibalik Cartier Love Bracelet. Tapi detik selanjutnya senyumnya sirna karena ia kembali sadar jika semuanya salah.
Dia tidak boleh jatuh cinta pada Louis, seharusnya Arletta selalu mengingat hal itu. Memang tidak ada salahnya untuk jatuh cinta, hanya saja terkadang kita bisa saja jatuh cinta pada orang mau pun waktu yang salah. Arletta tidak ingin mengulang rasa sakit yang mati-matian ia lupakan, untuk menghindari hal itu maka dia tidak boleh jatuh cinta dengan Louis.
“Arletta, long time no see,” sapa Nando, sepupu Arletta yang tinggal di Australia.
Arletta memutar tubuhnya guna memastikan siapa yang baru saja menyapanya. Seorang laki-laki dengan surai coklat dan iris terang itu tersenyum miring ke arahnya. “So you really want to be a doctor? How can a murderer become a doctor?” sindir Nando pedas.
“Watch your fucking mouth, I'm not a murderer!” kilah Arletta tegas.
𓇼 ⋆.˚ 𓆉 𓆝 𓆡⋆.˚ 𓇼
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.