Onze: Head to Head

851 135 17
                                    

"Non Alex, itu temannya sudah menunggu dibawah." Mba Ros berdiri di ujung pintu kamarnya.

"Oh iya, Mba. Disuruh duduk dulu aja." Pinta Alex sambil berdiri di depan kaca besar di depan meja riasnya.

"Iya sudah tuh, Non. Sudah Mba bikinin teh juga. Siapa tuh kalo, Mba, boleh tahu?" Mba Ros terkekeh.

Alex lalu tertawa, "Temen aja kok itu, Mba. Kenapa sih kok senyum senyum gitu?"

"Ganteng juga ya, Non. Ah tapi, dari dulu yang kesini dari temennya Non Alex sampe Non Sofi semuanya ganteng." Mba Ros masih senyum senyum.

Ia lalu memasukkan dompetnya ke dalam tas dan mengambil cardigan hitam miliknya dari closetnya. "Yang paling ganteng siapa, Mba?" Tanya Alex iseng.

Mba Ros lalu berpikir, "Duh Non bikin bingung aja pertanyaannya." Mba Ros lalu mengernyitkan dahinya, "Semuanya ganteng, tapi kalo kata Mba yang paling ganteng tuh Kanig."

Alex lalu tertawa terbahak-bahak. "Ah Mba sih dari dulu juga kalo ngeliat Kanig suka mesem-mesem sendiri. Sampe suka lupa sama suami ya kan?"

Mba Ros lalu mencubit halus Alex, "Ah non mah bisa aja."

Setelah guyonannya dengan Mba Ros tadi, Alex kemudian menuruni tangga dan di ruangan tengah Ernest sudah duduk santai sambil menonton televisi.

"Nest! Udah lama nunggunya?" Tanya Alex.

"Engga kok, 5 menitan lah." Ernest nyengir hingga lesung pipinya terlihat. "Oh iya, Lex. Gue lupa bilang ke elo tadi gara-gara buru-buru."

"Kenapa, Nest?"

"Tadi tiba-tiba ban mobil gue kempes." Ujarnya dengan tidak enak, "Jadi hari ini pake mobil lo aja ya? Gue deh yang nyetir."

"Ooh iya gak apa-apa pake mobil gue aja. Gara-gara apa, Nest? Duh kalo kena ranjau paku ngeselin banget ga sih." Alex lalu duduk di sebelah Ernest.

"Gatau nih heran gue. Kemarin kayanya ga apa-apa deh." Ernest mengingat-ngingat.

"Terus tadi lo kesini pake apa?"

"Tadi gue pake motor kesini." Ernest kemudian menyeruput teh dihadapannya.

"Motor sport gede gitu ya?" Alex menebak-nebak. Sebenarnya kalo boleh jujur, ia tidak suka dengan motor sport gede yang kalo penumpangnya duduk sampai membungkuk ke depan. Ia lebih memilih naik motor bebek saja sekalian.

"Bukan kok, vespa." Jawab Ernest santai.

Mata Alex lalu membelalak, "Serius lo vespa?! Yaudah kita naik vespa lo aja dong, please please!"

Ernest tidak menyangka dengan reaksi Alex yang sangat antusias saat mendengar bahwa hari ini ia membawa vespanya. He underestimated her. Awalnya ia menyangka bahwa Alex akan mengeluh bila mendengar ia membawa motor vespanya itu. Scooter putih itu ia beli secara impulsif saat ia sedang menunggu service rutin jeep Benz-nya.

Kebetulan di sebelah showroom sekaligus bengkel tempat ia menservice mobilnya, terdapat showroom motor keluaran Eropa itu. Ia tadinya hanya iseng liat-liat saja dan mencobanya. Tidak disangka ia langsung jatuh cinta. Body scooter itu sangat simple dan masih tetap classic walaupun sudah model terbaru. Kemudian akhirnya ia memutuskan untuk membeli scooter itu.

"Iya vespa, Lex. Lo beneran mau naik vespa aja?" Tanyanya sekali lagi.

Alex lalu mengangguk dengan cepat. "Iya beneran. Yuk mumpung orang tua gue lagi gak ada. Kalo ketauan mama nanti gue diceramahin."

Tiba-tiba dari pintu utama rumahnya, terlihat Kenji baru saja datang entah dari mana.

"Kak, lo mau kemana?" Tanya Kenji. Kenji yang saat itu memakai celana pendek dan polo shirt garis-garis memperhatikan Ernest.

Ernest, Alex, and Kanig : Healer (#2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang