Cinq: Time Bomb

981 157 11
                                    

Alexandra, Office - Carlitos

"It's just sad, knowing someone who you usually see suddenly gone." Sebuah kalimat yang terngiang-ngiang di pikirannya sejak kemarin malam. Kalimat tersebut mempunyai 2 arti yang berbeda. Pertama, kalimat itu ditunjukkan untuk Tante Gina, seorang perempuan yang sudah Alex anggap sebagai keluarganya sendiri. Umur manusia memang tidak ada yang tahu, once you're there but then the next day you're gone.

Dan yang kedua, Risyad.

Risyad Gunawan, her long time love. Knowing that now he's got someone beside him and the fact that it's not her, is hurting her. For a bit. Tapi rasanya kalau itu sedikit ia tidak akan sesakit ini. It feels like it's hurting all over her body. Hingga tadi malam dirinya tidak bisa tidur. Malam itu ia terjaga, pada akhirnya dirinya hanya tidur beberapa jam sebelum akhirnya ia pun harus bangun dan bersiap-siap ke kantor. Pernah gak ngerasain di suatu waktu kita sedih, bingung, pengen nangis, tapi semua itu gak bisa keluar? Rasanya semua rasa itu menumpuk di dalam tubuh kita dan tidak ada jalan keluar.

Anehnya lagi, sejak putus dengan Risyad, Alex tidak pernah menumpahkan rasa itu ke siapapun. Tidak ke keluarganya dan tidak ke sahabatnya. They knew that she wasn't okay. And she told them that she wasn't okay. But that's it. Seharusnya ia menangis tapi air mata itu tidak pernah keluar dari matanya. Rasa sakitnya sudah terkubur di dalam dirinya. Sampai akhirnya ia merasa dirinya sudah menjadi batu. Mati rasa.

Alex terdiam di meja kantornya dengan sebuah kontrak yang sedang ia berusaha selesaikan hari ini. Bekerja sebagai corporate lawyer yang rate-nya dihitung on an hourly basis, memang disisi keuangan makmur. Rata-rata untuk lawfirm bergengsi seperti tempat dirinya dan Bagas bekerja atau law firm papanya Kaya, perjam bisa dibayar sekitar 75-200 dollar. Dan jangan ditanya untuk seorang senior associate per-jam dibayar berapa, bisa berkali-kali lebih besar dari itu. Tapi kalau misalnya otaknya lagi mumet gini, sedangkan pekerjaan ini membutuhkan konsentrasi yang tinggi, cukup sulit untuk dilakukan. Salah sedikit memberi legal advise atau bikin kontrak, bisa-bisa klien di tuntut di hadapan hukum.

Pikirannya sudah terbagi sejak kemarin malam. Keputusan yang salah untuknya datang ke rumah sakit. Tapi salah juga apabila orang tua yang sudah ia anggap sebagai keluarganya sendiri meninggal, sedangkan dirinya tidak menengok sama sekali. Tadi pagi ibunya Risyad sudah dimakamkan, tapi karena satu dan lain hal Alex memutuskan untuk tidak mengantar ke peristirahatan terakhirnya. She feels guilty a little bit, but earlier her own mom said, "Yang penting kamu udah berdoa buat ibunya Risyad, Lex."

So, here she is now, in her office, with an uncertain mind.

Alex kemudian men-dial sebuah contact dari handphonenya. Setelah beberapa kali nada tunggu akhirnya teleponnya itu diangkat. "Di, are you there?" Alex menelepon sahabatnya Didi.

"Yo, kenapa, Lex?" Jawab Didi dari ujung telepon.

"Pulang kantor ketemuan dong, Diiii. Lo lagi ngapain sih sibuk amat?" Alex bertanya seperti itu karena seperti ada suara grasak grusuk saat Didi berbicara.

"Bentar-bentar." Suara Didi seperti ngos-ngosan. "Lex, tau gak di gedung kantor gue lagi latihan simulasi kebakaran."

"Hahahaha serius lo? Kok seru sih?"

"Seru sih seru, Lex. Tapi rasanya gue kayak latihan cardio turun pake tangga dari kantor gue di lantai 10."

"Yaudah sih, lumayan kan tuh supaya kemeja Armani lo ga ngetat-ngetat amat." Alex cekikikan saat membayangkan kemeja kantor sahabatnya yang flamboyant itu selalu terlihat lebih ngetat dari orang-orang lain.

"Lex, it's called well-fitted!" Sanggah Didi. "Okay whatever. Eh tadi lo nanya apaan, Lex?"

Alex lalu menghela napasnya, "Gue tadi ngajakin lo abis pulang kantor ketemuan!"

Ernest, Alex, and Kanig : Healer (#2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang