32. Nala dan Prinsipnya

29.2K 2.4K 75
                                    

" Karena belajar itu tentang kualitas, bukan kuantitas."

Dewangga Abirama-Fatamorgana

Nala tidak pernah suka hukuman.

Lebih tepatnya, dia tidak suka memberikan punishment kepada seseorang. Hal itu akan membuat dirinya terlihat kejam, merasa berkuasa, yang jelas, dia tidak menyukainya. Dibanding punishment, dia lebih suka menerapkan reward untuk para pegawai yang sudah bekerja keras demi Halid.

Namun ketika Panca menelfonnya pagi-pagi sekali untuk melaporkan bahwa motif tersangka mereka selama ini adalah murni ketamakan, Nala tidak bisa berbuat apapun selain mengikuti prosedur yang sudah ada. Padahal dia berharap, sang tersangka mempunyai alasan kemanusiaan yang akan bisa diterima hatinya. Sebutlah saja, dia melakukan korupsi karena terpaksa. Tapi please, dunianya bukan dunia sinetron dimana seorang chief yang membawahi divisi FB (Food and Beverages) di hotel Halid kekurangan secara ekonomi. Yang benar saja! Mereka bisa memberi Lamborgini secara cash jika mereka mau.

Seakan itu belum cukup pelik, keterlibatan General Manager dalam skandal korupsi sudah tidak diragukan lagi. Nala mendesah lelah. Apa gaji mereka kurang cukup?

Tapi, bukankah manusia lebih mudah merasa kekurangan daripada bersyukur atas apa yang mereka miliki?

Sejauh ini, dirinya, Panca dan beberapa orang yang bisa ia percaya menanganinya secara diam-diam. Dengan Nala memegang keputusan, ia memutuskan untuk mendapatkan bukti yang jelas sebelum menjatuhkan vonis. Karena jika vonis sudah dijatuhkan, itu artinya seorang Fabian Halid akan mengetahui semuanya. Dan ketika Fabian Halid mengetahui ada kasus korupsi di perusahaannya, dia yakin hal itu bukan hal yang bagus.

Nala menggosok dahinya keras-keras. Pukul enam pagi dan otaknya sudah terasa panas. Pikirannya penuh dengan masalah hotel meskipun saat ini kakinya sedang menyusuri koridor sekolah.

" Bu Nala?"

Aluna mendekatinya dengan beberapa siswi yang lain.

" Aluna, kamu rajin sekali." Komentar Nala mengingat sekarang masih jam enam pagi. Aluna mengabaikannya.

" Bu Nala, apa nggak ada persiapan?" Tanyanya cemas, " Buat TOEFL nanti? Kalau kita minta bu Nala untuk review rumus, gimana?"

Nala mengangkat alis. Terlihat sekali kegelisahan di wajah mereka.

" Kemarin kita sudah membahas soal-soal simulasi TOEFL, kan?"

Mereka semua mengangguk. Belum sempat Aluna berbicara, segerombolan siswa dari arah lain juga berlari ke arahnya.

" Gimana? Jadi belajarnya?" Tanya Salman sebelum menoleh pada Nala.

" Kalian sudah mempersiapkan ini beberapa hari belakangan. Kenapa masih panik?" Tanya Nala tidak habis pikir.

Salman berdecak tidak sabar, " Yah, kan poinnya harus tinggi, bu. Kemarin simulasi aja aku nggak lolos padahal tinggal beberapa poin. Bu Nala, kita bahas beberapa soal lagi, gimana? Masih ada waktu dua jam lagi. Cukup buat belajar kayaknya."

Nala menelengkan kepala. Ia mengamati kerumunan yang makin banyak itu. Semuanya bertanya hal yang sama padanya. Akhirnya, Nala mengambil keputusan.

" Oke. Tunggu saya di ruang PE."

Salman terkejut, "Ngapain di ruang PE? Kita nggak mau ketemu anak-anak PE!" Tepisnya sengit. Lebih tepatnya, dia tidak sudi bertemu Ali, orang yang menggesernya dari posisi cowok paling pintar di sekolah ini.

Nala tersenyum, " Tunggu saya di ruang PE. Kita akan melakukan persiapan di sana. Bagaimana?"

Aluna mengerucutkan bibir, sedangkan yang lain menggerutu. Namun mereka tidak punya pilihan lain selain menurut.

ENTWINED [COMPLETED]Where stories live. Discover now