8. Panti Asuhan

32.8K 3.3K 57
                                    

"Because whenever I see you, I am not okay"

" Cepetan oi! Lambat amat jadi orang! Gue nggak mau masuk duluan!" Seru Raka bersedekap sembari menatap Qatar dan Nala yang berjalan beriringan. Qatar mengangkat alis, kemudian nyengir lebar.

" Kamu nemu mereka dimana sih?" Tanya Qatar.

" Mereka murid-muridku mas. Aku ambil penelitian buat jurnalku. Bosen di Zimbabwe terus." Jawab Nala. " Si Ali, dia pintar main catur. Raka hobinya tawuran, tapi teknik bela dirinya sempurna. Gardan itu mirip Reno. Hacker, programmer, cracker. Gaby, lihat sendiri bagaimana dia dandan. Kezia pintar sekali memasak. Bakat mereka sudah terlihat dari awal. Tapi seperti biasa, mereka belum menemukan tempat yang tepat untuk merasa berguna dan dihargai. Aku harap membawa mereka kesini bisa memberi mereka sesuatu."

Qatar sedari tadi mendengarkan penjelasan Nala menoleh ke arah tubuh mungil yang antusias itu.

" Dari dulu kamu nggak pernah berubah, La. Masih terus kepikiran anak-anak kampung." Kata Qatar. " Aku nggak ngerti gimana caranya berterima kasih sama kamu."

Nala melirik Qatar sekilas sebelum mereka memasuki lobi yang luas dan menemukan anak-anaknya sedang terkagum di depan etalase besar yang memamerkan berpuluh piala mengkilat.

" Mereka berarti besar buatku, mas." Kata Nala mendekati sebuah foto lama. Ia mengulurkan tangan untuk menyentuh sosok dirinya di tengah anak-anak kumal dan kurus. " Waktu dengar mereka terkena banjir bandang, aku panik. Aku bisa menebak apa akibatnya. Kehilangan tempat tinggal, menjadi yatim piatu." Nala menelan ludah saat dirinya merinding.

Nala berbalik menatap Qatar dengan mata berkaca. " Bayangin betapa tersiksanya aku waktu tahu aku nggak bisa kesini. Aku pingin bantu kamu ngurus mereka. Aku butuh tahu mereka baik-baik aja. Jadi aku cuma bisa bantu ini. Aku harap kamu dan yang lain bisa menyesuaikan diri. Dan maaf, aku nggak ada waktu panti ini dibangun."

" Apa yang kamu lakukan itu berarti sekali, La." Kata Qatar menentramkan. " Keluarga kamu membangun panti ini untuk mereka. Itu hal yang nggak mungkin bisa dilakukan pengajar yang lain."

Nala tersenyum lega, " Aku harap mereka nyaman."

" Aku bisa pastikan itu. Konsep pengembangan diri di sini sudah bisa dibilang berjalan lancar. Sesuai saran kamu, kita udah berasosiasi dengan klub-klub resmi di Indonesia. Jadi mereka secara langsung bisa ikut kalau ada event nasional." Qatar mendekati salah satu foto dan mengedik. " Tahun ini saja, Raihan juara POPNAS cabang Aikido. Padahal waktu kamu pergi dia masih balita."

Nala menatap foto yang ditunjukkan Qatar. Rasa bangga membuncah di dadanya. Mengetahui apa yang kita lakukan berguna bagi orang lain adalah sebuah kebahagiaan tersendiri bagi Nala.

Itu semua dimulai dari lo sendiri. Lo bisa lebih berguna buat mereka kalau lo sendiri sukses.

" Aku tahu dana yang diperlukan untuk menyokong panti ini nggak sedikit. Kalau kamu butuh sesuatu, bilang sama kita." Kata Qatar.

Nala mengerjapkan mata untuk mengusir suara dari kepalanya. " Santai saja. Aku pastikan selalu memperbaharui proposal panti ini tiap tahun, kok."

Qatar menatap Nala sejenak, kemudian mengacak lembut rambut Nala untuk ketiga kalinya. " Berandal kecil jadi sehebat ini, eh? Siapa yang nggak kenal Kanala Halid, coba?"

Nala tertawa. Ia meninju bahu Qatar. " Aku tetep berandal. Mereka aja manggil aku iblis. Hahahaha!!"

" IBLIS!!"

Bibir Nala langsung terkatup saat kelima siswanya menatap mereka berdua dengan pandangan yang sama.

" Udah ah! Gue mau main jungkat-jungkit!" Kezia melemparkan tangannya ke udara.

ENTWINED [COMPLETED]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt