21. Permainan Takdir

28.2K 2.4K 314
                                    

"True friend don't give what you want. They throw what you need right on your face, and you're fixed"

Seharusnya, apartemen adalah tempatnya melepas penat setelah seharian berkutat dengan berbagai penyakit hingga nyawa seseorang. Sudah cukup Dafa yang memulai ketidaknyamanan dengan menjauhi Dewa karena membiarkan Nala pergi.

Sekarang, dia harus menghadapi kedua orangtua Raya yang sudah ada di sini entah sejak kapan.

" Kamu kenapa baru pulang?" Tanya Raya menuntut.

" Aku banyak kerjaan, Ray." Kata Dewa setelah mencium kedua tangan orangtua Raya dengan sopan. Walau bagaimanapun, dia cukup mengenal keluarga Raya. Dewa menghindari tiga orang yang duduk di ruang tamu itu dengan pergi ke dapur. Di sana, ia malah bertemu bi Sumi yang sedang membuat minuman. Dewa menghela nafas lelah.

" Biar aku saja, bi." Pinta Dewa mengambil alih baki berisi tiga gelas itu. Dewa membawanya keluar dan meletakkannya di meja rendah. Kemudian, ia memutuskan untuk menghadapi apapun itu. Kebahagiaan karena kebersamaannya dengan Nala meredup, digantikan amarah yang berusaha ditahannya. Ia mengambil tempat duduk di sofa single, jauh dari Raya yang memandangnya tidak setuju.

Dewa sama sekali tidak bersalah, dia tahu itu. Tapi tetap saja dia tidak bisa menghadapi wajah kedua orangtua Raya yang menatapnya dengan mengerikan. Menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi terasa sangat salah.

" Setelah selama ini kami kenal kamu, kami percaya kamu, lalu kamu berhak bertindak seperti ini?" Ujar ayah Raya dengan gigi terkatup. Tanpa basa basi, jelas sekali kemurkaan di setiap katanya. Dewa memejamkan matanya dan menunduk. Sungguh, sikapnya benar-benar mendukung apapun yang ada di pikiran orangtua Raya.

" Kenapa kamu sembunyikan?" Seru ayah Raya. " Sejak kapan kamu jadi laki-laki kurang ajar yang tidak bertanggung jawab? Menunggu Raya sendiri yang menceritakannya kepada kami? Sebenarnya apa yang ada di pikiran kamu? DEWA? JAWAB SAYA!"

" Ayah...sudah..." Raya cemas melihat ayahnya kehilangan kendali.

" BIAR, RAYA. BIAR DIA TAHU SEBERAPA BEJAT KELAKUANNYA SAMA KAMU! DAN SETELAH INI, KAMU TETAP TENANG SAJA? SAMA SEKALI TIDAK ADA ITIKAD BERTANGGUNG JAWAB? APA YANG KAMU PIKIRKAN? KALAU IBUMU TAHU, SEBERAPA KECEWANYA DIA SAMA KAMU, DEWA? APA KAMU PERNAH BERPIKIR SEPERTI ITU?" Teriak ayah bangkit dan menujuk Dewa dengan jari telunjuknya. Matanya nyalang.

Dewa membuka matanya. " Jangan membawa-bawa ibu, pak." Kata Dewa datar. Dia setengah mati berusaha menahan diri untuk tidak balas berteriak. Bagaimana mungkin ibunya dipertaruhkan di sini, di kasus yang bahkan tidak pernah terjadi?

PLAK!

Sepertinya, suara acuh Dewa menambah kemurkaan pria itu menjadi sepuluh kali lipat. Ia bergegas mendekati Dewa dan menampar Dewa dengan keras hingga wajah laki-laki itu terlempar.

" Ayah, ayah, sudah..." Kata ibu Raya menyeret ayah dengan susah payah meskipun dia sama sekali tidak menyesali tindakan suaminya.

" Dewa, bagaimanapun ibumu tetap akan tahu. Ini sudah keterlaluan. Raya hamil gara-gara kamu, De. Ini masalah serius." Kata ibu dengan mata berkaca. Padahal ia sangat menyukai Dewa sejak dulu. Dia tidak munafik. Dia berharap pertemanan Raya dan Dewa langgeng hingga pernikahan. Tapi bukan dengan cara seperti ini.

" Tidak. Jangan memberitahu ibu dulu." Kata Dewa meminta.

" Sekarang kamu baru mikir, iya?" Geram ayah Raya dengan tangan terkepal di lututnya. " Sekarang apa yang mau kamu lakukan? Kami tidak akan membiarkan kamu lari dari tanggungjawab kamu! Cukup lama Raya menanggung malu. Dia sampai tidak berani pulang! Tidak berani menemui kami, orangtuanya sendiri! Semua itu gara-gara kamu!"

ENTWINED [COMPLETED]Where stories live. Discover now