11. Berusaha Menerima

35.4K 3K 39
                                    

"You are 'nobody with memories' "

Nala duduk meringkuk di lantai balkon kamarnya, sesekali membenahi selimut yang ia sampirkan di bahu menutupi baju tidurnya. Kedua telapak tangan ia tempelkan di cangkir susu hangatnya. Kebiasaan dari dulu tidak pernah berubah. Ia masih gemar minum susu.

Nala menarik nafas pelan. Matanya berkelana di langit, menyibak bintang-bintang yang sedang bersinar terang.

" Nggak ada telfon di malam hari?"

Gadis itu memejamkan mata erat-erat. Cengkraman di cangkirnya mengerat dan kakinya hampir saja memaksanya berdiri. Namun kemudian ia menghembuskan nafas panjang dan menoleh ke kiri.

Dewa berdiri di balkon dengan kedua tangannya terlipat di atas teralis besi. Laki-laki itu juga mendongak ke langit.

" Hmm...nggak ada. Dia sibuk." Jawab Nala mengendalikan suaranya sebelum menyeruput minumannya. " Bisa nggak kamu menghilangkan kebiasaan mengupingmu itu? Nggak sopan."

" Ini balkonku, Nala. Kenapa bukan kamu aja yang telfon di dalam?" Tanya Dewa tenang tanpa menatap Nala.

Nala mendengus, "Aku lebih suka telfonan di sini."

Dewa mengangkat bahu, " Ya sudah. Terima saja."

" De?"

" Ya, Nala?"

" Kamu aslinya semenyebalkan ini, ya?"

Mendengar itu, Dewa terkekeh. Namun ia tidak menanggapinya. Nala hanya melirik punggung lebar itu dengan kesal sebelum memutuskan untuk mengabaikannya.

Ini salah dan hatinya menolak kedekatan mereka. Tapi tetap, dia merasa seperti anak kecil jika terus menerus menyimpan kemarahannya. Sampai sekarang pun dia tidak mengerti apa sebenarnya yang laki-laki itu rasakan. Tapi Nala merasa meneruskan konfrontasi juga bukan merupakan tindakan bijaksana. Sekali lagi Nala mengingatkan diri, bahwa mereka sudah dewasa.

Apalagi dengan Dafa yang menempel seperti perangko pada Nala.

" Dafa udah tidur?"

Jika ada yang mengira bahwa yang bertanya adalah Nala, maka salah besar. Dewa menanyakannya pada Nala yang mengangguk singkat. Ia mengedik ke belakang, ke arah tempat tidurnya di mana Dafa sedang tertidur pulas di bawah selimut.

" Dia kangen sekali sama kamu." Celetuk Dewa menggosokkan kedua tangannya," Dari dulu."

" Mungkin dia tahu kakaknya jahat. Mau susu hangat?" Akhirnya Nala menyerah dengan egonya. Sedari tadi tidak bisa mengabaikan Dewa yang jelas-jelas terlihat kedinginan.

Dewa menoleh ke arahnya. " Boleh."

Nala bangkit. " Aku buatkan sebentar."

Segera setelah Nala menghilang, Dewa diserang perang batin. Antara memperbolehkan dan mencegah dirinya untuk melompat ke balkon sebelah. Tapi Nala kelewat cepat kembali sebelum Dewa memutuskannya.

" Kenapa?" Tanya Nala saat mengulurkan segelas susu hangat pada Dewa. Laki-laki itu memasang wajah kecewa.

Dewa menggeleng, menggenggam cangkir dengan kedua tangannya. " Hangat."

" Hmm..." Gumam Nala menyeruput minumannya sendiri. Sama sekali tidak sadar bahwa apa yang dikatakan Dewa adalah tentang dirinya. Dewa terkekeh.

"Terima kasih." Katanya membuat Nala mengangguk singkat. Sesaat, keduanya hanya terdiam mengamati ribuan kendaraan yang berlalu lalang tepat di bawah mereka.

" Kamu di sini sampai kapan?" Tanya Dewa menerawang ke bawah. Nala meliriknya sekilas sebelum menjawab.

" Tiga bulanan." Jawabnya singkat, kemudian berdehem, " Kamu...sejak kapan kerja di panti?"

ENTWINED [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang