A Sin - Jihoon

2.5K 238 14
                                    

'Apakah yang kami lakukan ini benar?'

Pertanyaan itu terus menerus merasuki pikiranku, membuatnya menjadi suatu misteri yang menyesakkan dada.

Semakin aku mencari jawabannya, pening di kepalaku kian menjadi. Sakit, seperti dibentur ke dinding.

Deruan nafas hangatnya menyapu leherku lembut, mengecupnya, dan meninggalkan bekas kemerahan di sana. Tanda yang seakan mengatakan bahwa aku miliknya.

Erangan kecil lolos dari mulutku, membuat senyuman itu makin melebar di wajahnya. Oh tidak, aku baru saja mengaktifkan tombol yang salah.

Cumbuannya yang kian turun, hingga mencapai dadaku yang naik turun. Sekali lagi, ia meninggalkan bekas di sana.

'Ya Tuhan, apakah ini salah?'

Pertanyaan itu kian memuakkanku. Ingin sekali aku memaki pemikiran kolotku yang tak jelas ini, namun sentuhan dan permainan tangan dinginnya membuat pikiranku kosong.

Apakah aku harus menghentikannya? Atau aku biarkan saja permainannya berlanjut?

Sebenarnya, mau dia selesaikanpun tak akan terjadi kesalahan fatal selama tak ada yang menyadarinya.

Dan ini hanya terjadi sekali, untuk balas dendam.

Jaemi si pelacur sialan itu benar-benar tak tau diuntung. Jika ia bisa berbuat hal rendah seperti itu ketika pria sebaik ini ada di sampingnya, maka dia harus mendapat balasan setimpal.

Dan aku cukup senang karena pria ini melampiaskan amarahnya padaku.

Hey, siapa yang bisa menolak kharisma Produser sukses setampan dirinya.

Itu yang tadi kukatakan ketika ia mengatakan rencananya padaku.

Sekarang, semangat itu pergi entah kemana. 

Bukannya aku tidak suka, jujur aku sangat menantikannya.

Hanya saja...

Rasa bersalah kian menyelimutiku, menenggelamkanku ke dalam samudera ketakutan yang tak bertepi. 

Kenapa? Kenapa aku harus merasa seperti ini? Aku tidak bisa menghentikannya karena aku memang ingin.

Tetapi di satu sisi, sesuatu berteriak kepadaku, mengatakan bahwa ini adalah dosa besar. Dosa yang akan membawa petaka bagiku.

"Kau menangis?"

Suara paraunya membuat tatapanku tertuju pada mata hazelnya yang menatapku lekat. Guratan wajah pria sempurna ini justru membuat air mataku terus mengalir.

Rasanya sangat amat menyesakkan. Aku benar-benar rendah. 

Ia mendekatkan wajahnya padaku, mengecup jejak air mata itu, kemudian turun dan mengecup bibirku. Lumatan-lumatan kecil yang memabukkan memberi sensasi aneh, sekaligus nyeri yang bagaikan kanker di jantungku.

"Jihoon...," 

"Apakah kita harus menghentikan ini?"

Tubuhnya menegang. Raut wajahnya mengeras, namun sedetik kemudian senyuman pias itu muncul di wajahnya.

Aku menggigit bibir bawahku. Sekarang, nyeri ini kian menjadi ketika aku menyadari kalau aku baru saja mengecewakannya.

Tak perlu kata-kata untuk mengetahuinya,cukup senyumnya yang seakan memberi tahuku bahwa ia sakit.

"Aku tak mungkin melanjutkan hal yang salah ini jika kau menolakknya."

Jihoon menjauhkan badannya yang tadi menindihku. Ia-pun bangun dari posisinya, kemudian merapikan bajuku yang terbuka kancingnya dan bajunya.

"Maafkan aku. Aku hampir saja menghancurkanmu" ,katanya sambil mengacak rambutku. 

Senyum terpaksa itu terukir di wajahnya lalu kemudian ia berjalan keluar dari kamar ini, meninggalkanku.

"Kau adalah gadis yang baik."

Kalimat itu menggema sesaat sebelum ia melangkahkan kakinya keluar ambang pintu.

Suaraku tak bisa keluar bahkan sampai punggungnya menghilang dari pandanganku.

Aku terdiam seperti orang bisu yang dungu. Rasanya aku baru saja menjadi orang paling berdosa di dunia ini.

"Maafkan aku Jihoon" ,lirihku pelan sambil memeluk diriku erat.

Aku yang menolaknya, tetapi aku juga yang menginginkan sentuhannya. Aku ini benar-benar plin-plan.

Air mataku lolos bersamaan dengan isakan pelan, menandakan bahwa pertahanan diriku saat ini benar-benar hancur.

Ini lebih menyakitkan dari luka ketika kaca besar itu hampir menghilangkan nyawaku. 

Perih dan panas, mungkin adjektiva itu bisa menggambarkan perasaanku,walau hanya sekian persen saja.

Aku mengusap air mataku, berusaha menghentikannya namun yang terjadi adalah tangusanku kian menjadi.

Aku menyesal, memang. Tapi di satu sisi, aku baru saja menghindari dosa besar yang akan menghancurkanku.

Itu membuatku lega.

Kini ruangan bernuansa biru ini menjadi saksi akhir hubungan terlarangku, sekaligus lahirnya diriku yang baru.

"Aku tak mau menjadi penghancur hubunganmu dengan Jaemi, sekalipun ia sudah mengecewakanmu"

.

.

.

END

Ini NC bukan sih?????



Seventeen's ImaginesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang