Louis Frankie Smith, anak tunggal dari pengusaha properti berdarah Amerika-Indonesia, jatuh cinta pada Arletta Maysha Charlos, seorang gadis beriris pekat. Meski hubungan mereka sudah terjalin selama tiga bulan, Arletta belum juga mencintai Louis-ba...
“Watch your fucking mouth, Aurelie. Beraninya kamu memanggil Gina dengan sebutan yang lebih pantas untuk dirimu itu!” murka William.
“That's enough, My. Just let daddy go,” bisik Louis tidak ingin menambah keributan.
Louis menarik Aurelie masuk ke dalam kamarnya, sementara William masih terlihat tidak terima. Ia masih terus menghardik Aurelie dengan sumpah serapah. Tangis wanita cantik yang telah berkepala empat itu pecah, Louis memeluk sang mami dan membiarkan Aurelie menumpahkan semua rasa sakitnya di pelukannya.
“No matter what happens, you have to be the successor of the company. Don't let that bitch take over everything,” ujar Aurelie saat tangisnya mulai reda.
"I’ll avenge all of Mommy's pain, and I’ll not let anyone take mine or Mommy's." tekad Louis sembari mengelus lembut punggung Aurelie guna menenangkan wanita itu.
────୨ৎ────
Louis berdecak kesal saat seorang gadis berambut kecokelatan menubruknya dan membuat kopinya tumpah mengotori seragam putihnya. Ia menatap datar gadis yang sedang mengambil buku-buku berserakan di lantai tanpa berniat membantu. Saat gadis itu berdiri, mata elang milik Louis langsung melihat name tag milik gadis itu.
Gracelina Michele J. nama yang terdengar tidak asing bagi Louis, sementara itu Michele menunduk takut karena tatapan dingin dari Louis. “Pardon me, I was in a hurry so I wasn't careful,” sesal Michele.
Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Louis melepas kemeja putih miliknya sehingga meninggalkan kaos yang mencetak jelas tubuh atletiknya. Ia melempar seragam putihnya ke muka Michele, bau semerbak dari parfum TomFord Tobacco Vanille milik Louis menyapa indra penciuman Michele.
“Maksud kamu apa lempar seragam kamu ke mukaku?” protes Michele.
“Tanggung jawab,” balas Louis singkat.
Tak lagi mengatakan apa pun, Louis meninggalkan Michele begitu saja. Saat ini ia menjadi pusat perhatian karena tidak memakai seragam dan juga tubuh atletiknya menjadi tontonan.
────୨ৎ────
Seratus lima puluh mililiter Chateau Margaux dituang perlahan ke dalam gelas bordeaux. Satu tegukan kecil mulai menyapa tenggorokan, setelah itu bibir ranum merah alami itu kembali menyesap perangkat kecil berkilau di bawah cahaya lampu remang-remang.
Uap hangat mulai memenuhi paru-parunya, meninggalkan rasa yang kompleks, perpaduan antara manis dan pahit─seperti hidupnya saat ini. Perlahan ia menghembuskan napas, uap tebal keluar dari bibirnya, melayang sebentar di udara sebelum lenyap.
Satu nama terlintas dalam benaknya, membuat seringai kecil terukir elok di paras tampan miliknya. “Looks like I've found my little toy,” gumamnya ambigu.
ִֶָ 𓂃˖˳·˖ ִֶָ ⋆۫ ꣑ৎ⋆ ִֶָ˖·˳˖𓂃 ִֶָ
Bunyi halus pintu resident's private elevator yang terbuka membuat gadis bersurai kecokelatan itu bangkit. Ia tersenyum kecil mendapati seseorang yang sudah ia khawatirkan dari tadi akhirnya kembali. Melihat gurat amarah terpatri jelas di paras tampan laki-laki beriris biru itu membuat nyali Michele menciut.
“Where have you been? Kenapa pulang selarut ini?” tanya Michele terbata.
Bukannya menjawab pertanyaan Michele, Louis justru menarik kasar gadis itu. “I should never have met you. You can only take away my happiness,” cerca Louis melayangkan tamparan kasar di pipi kiri Michele.
“What's wrong with you? Kenapa tiba-tiba menamparku? Did I make a mistake today?” Bingung Michele karena Louis datang-datang justru menyiksanya.
Tubuh mungil Michele menyeret mundur, tapi langkah lebar Louis terlebih dahulu menangkapnya. “Louis, I beg your pardon. Aku mohon berhenti siksa aku.”
“No fucking way! You have to pay for what your bitch mother did to my family,” sergah Louis.
“But actually here we are just as wounded. Aku juga sakit atas perceraiannya ayah dan bundaku. Aku juga tidak menginginkan perceraian itu,” ungkap Michele mulai terisak.
Tawa sumbang milik Louis memenuhi ruangan dengan matanya berkilat marah. Ia berlutut menyejajarkan tinggi badannya dengan Michele yang duduk di lantai. Dengan kasar ia meraih dagu Michele dan mencengkeramnya kuat. Iris coklat milik Michele tak berani menatap iris biru Louis, kilatan amarah laki-laki itu terlalu menakutkan.
“I don't give a fuck how much pain you feel because you still have to pay a hundred times the pain that my mother has felt. Seharusnya kamu bersyukur karena kamu bertemu denganku terlebih dahulu sebelum mommy menemukanmu. If you still want to live, obey me,” urai Louis.
Iris coklat milik Michele menatap melas iris biru yang sedari tadi terus menatapnya tajam. Keduanya tengah sibuk dengan pikiran masing-masing. Louis masih kalut dengan amarahnya, ia memukul Michele habis-habisan meninggalkan banyak bercak biru keunguan di kulit coklat gadis itu.
Tidak ada yang dapat dibenarkan, tapi memang terkadang luka membuat beberapa orang menjadi mati rasa. Seperti Louis yang telah kehilangan rasa kasihannya, padahal dia juga tahu keduanya saling tersakiti. Di sisi lain, Michele tidak dapat melawan karena Louis akan semakin gila jika dia melawannya.
“I should hate you, but why am I falling in love with you?” lirih Michele saat Louis meninggalkannya setelah telah puas meluapkan amarahnya.
𓇼 ⋆.˚ 𓆉 𓆝 𓆡⋆.˚ 𓇼
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.