Prolog

89.7K 8.9K 100
                                    

Kalau benci jangan terlalu.

***

"Akan ku balas dia." Kata-kata itu terus kuulangi seperti mantra sambil berjalan dengan langkah penuh emosi menuju playground di dekat sekolah. Aku yakin dia masih di sana. Bersama teman-teman nakalnya yang lain, menjahili anak-anak yang dia anggap tidak akan melawan.

Tapi bukan aku. Karena aku akan melawan. Bocah itu akan mati hari ini.

Kuusap mataku yang basah dengan punggung tangan, lalu secara perlahan kembali menyentuh rambut coklatku yang dulu panjang melewati bahu tetapi kini hanya tinggal di atas telinga. Sangat pendek seperti anak laki-laki.
Menyentuhnya saja sudah mau membuatku menangis lebih keras lagi.

Harusnya aku curiga waktu mendadak dia pura-pura jatuh tersandung di belakangku, mendorongku sampai tersungkur sementara dia juga jatuh.

Waktu itu kukira dia hanya sedang menjadi dirinya seperti biasa, yang tidak akan pernah bisa membiarkan hidupku tenang dan akan sangat-sangat senang ketika aku menangis dan mengadu pada guru.

Aku bahkan tidak terkejut waktu dia tidak meminta maaf seperti layaknya seseorang yang bersalah, tapi justru balas mengatai sebelum pergi dengan teman-temannya, tertawa sambil melirik lucu.

Itu hal biasa sampai aku tidak curiga kalau ternyata dia menempelkan permen karet bekas kunyahannya ke rambutku.

Aku harusnya tahu kalau sesuatu terjadi waktu semua orang terkikik di belakangku. Tidak ada yang memberitahuku, tapi seharusnya aku sadar ada yang tidak beres!

Aku mengetahuinya setelah pulang sekolah, waktu seseorang di trotoar memberitahukannya padaku. Menyuruhku berkaca di etalase toko sambil membalikkan sedikit badanku.

Sekarang rambutku tidak bisa di selamatkan lagi. Rambut kesayanganku pendek! dan itu semua karena Parker yang sudah kelewatan!

Aku berhenti berjalan dengan tergesa-gesa setelah tiba di playground. Seperti tebakanku, Jamie ada di sana. Duduk di dekat perosotan bersama kedua temannya yang lain, tertawa-tawa sambil mengunyah permen karet. Permen karet yang sama, dengan yang ada di rambutku.

"Parker!" Bentakku marah. Tak hanya Jamie, mereka semua menoleh ke arahku. Seketika berhenti mengunyah.

Raut wajah yang awalnya kaget, langsung berubah geli waktu melihatku berdiri di depannya dengan kedua tangan mengepal.

"Nora! Rambut yang bagus." Perkataannya membuatku makin marah.

"Iya, kau jadi terlihat seperti Danny." Kata salah satu temannya.

"Danny?" Yang lain menanggapi.

"Yang suka ngupil di kelas?" Tebak Jamie sengaja sambil melirikku.

Lalu semua tertawa.

"Jangan tertawa!" Bentakku lagi, memancing decakan seolah mereka takut melihatku marah.
"Kau yang melakukannya iya kan?!"

Parker bangkit dari posisi duduknya. Kentara sekali anak idiot ini pura-pura bingung.

"Kau bicara apa sih Nora?"

"Permen karet biru! Aku melihatmu mengunyah itu di sekolah! Sama seperti yang kau makan sekarang. Aku tau itu kau!" Suaraku pecah di akhir kalimat. Langsung kehilangan kegarangan tadi dan mengutuk diriku sendiri.

"Permen itu dijual bebas di supermarket, bodoh. Jangan sembarangan menuduhku."

"Tapi kau yang menabrakku di loker sehabis jam makan siang!"

"Itu karena kau jalan tanpa melihat. Dasar anak aneh." Jamie memutar bola matanya membuat teman-temannya terkekeh.

Mendengar kegaduhan yang terjadi, anak-anak yang awalnya tidak ikut campur mulai berkumpul untuk menonton. Mereka tersenyum. Mungkin karena rambutku, atau mungkin karena lucu melihatku menangis.

Aku merasa terpojok dan dipermalukan. Mereka semua berdiri di dekat Jamie seperti suruhannya, mengikuti petintahnya untuk menyakiti dan menertawakanku.

Air mata meluncur bebas dari pipiku tanpa peduli situasi.

"Kenapa kau lakukan ini? Kenapa kau jahat padaku? Aku suka rambutku." Tanyaku dengan suara yang lebih pelan. Merasa kalah telak.

"Nye.. nyee... nyee..." Jamie mencibir perkataanku, yang lain terkekeh mendengarnya. "Kau cengeng sekali." Lalu bangkit dari posisinya dan menghampiri ke arahku.

"Sudahlah Nora. Terima saja, lagipula kau jelek, bagaimanapun rambutmu. Jadi tidak usah berlebihan begitu." Disentilnya rambutku.

Saat itulah aku terdiam dan melayangkan tinjuku.
.
.
.
.
.

Napas terhisap padaku, mataku terbuka lebar dan tubuhku rasanya sakit semua.
"Nora? Dia sudah bangun!"

Aku mengenal suara itu. Ibuku sekarang menekan tombol di sebelah tempat tidurku sambil bercucuran air mata. Dia terus menangis dan bersyukur pada Tuhan.

Ibu menggenggam tanganku dengan hati-hati sambil menciuminya.

Tanganku terlihat lebam-lebam di sebagian tempat dan ada luka baretan di punggung tanganku.
Perlahan aku mulai sadar kalau tanganku bukanlah satu-satunya yang terluka, tapi juga leherku yang di sangga dan pipiku yang berdenyut.

Aku ingin bertanya apa yang terjadi, tapi dokter dan beberapa perawat langsung masuk menghentikan kalimat itu.
Mereka meminta ibu untuk keluar agar aku bisa menjalani sejumlah pemeriksaan.

Mataku disenter oleh mereka, dan alat bantu pernapasan juga di lepas karena aku tidak lagi membutuhkannya, untunglah karena dengan begitu aku bisa bicara lebih bebas.

Saat mereka mencoba menanyaiku beberapa pertanyaan, rahangku justru sakit kalau terlalu banyak terbuka. Hingga semuanya harus ditunda.

Sebagai gantinya mereka memberiku obat agar aku mudah beristirahat.

Waktu semuanya sudah lebih baik, aku menunggu ibu untuk kembali.

Pintu di ketuk oleh seseorang sebelum dia masuk. Leherku yang diberi penyangga membuatnya tidak bisa digerakkan. Aku jadi tidak bisa mengetahui siapa yang masuk dan mulai berjalan ke sini.

Alisku bertaut waktu melihat bukan wanita paruh baya mungil, yang kuingat sebagai ibuku yang masuk. Tapi laki-laki tinggi tegap yang sepertinya tidak tidur lebih dari dua hari.

Aku berusaha mengingat wajahnya waktu dia berjalan lebih dekat, matanya terlihat sedih. Dia prihatin padaku. Ada kantung hitam di bawah matanya dan rambut pirangnya acak-acakan. Dia juga seperti tidak pernah bercukur berhari-hari.

Setiap langkah yang dia ambil, makin memperjelas pandanganku.

Aku tidak akan bisa melupakan wajah itu, wajah yang membuat masa kecilku jadi suram.

Aku berteriak bahkan sampai melupakan rahangku yang masih sakit. Tapi aku terus berteriak.

Ingatan soal rambutku kembali terbayang. Aku sangat marah pada orang ini hingga rasanya seperti kerasukan.

Monster dalam hidupku. Orang paling kejam. Tukang-bully yang kejam.

"Apa yang kau lakukan di sini?!"

***

Chasing MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang