Flashback 14

25.4K 3.6K 152
                                    

Mataku melirik ke arah Jamie yang duduk diam di kursi kayu meja makan kami. Posisiku yang duduk di sebrangnya, memungkinkan pandanganku untuk melihat Jamie yang seperti akan meledak karena terlalu banyak berpikir. Berulang kali dia menatap frustasi pada hamparan uang dan buku tabungan yang bertumpuk-tumpuk di atas meja. Mungin sama sepertiku, berharap angkanya akan bertambah atau ada kekeliruan perhitungan dan membuat jumlahnya mendadak cukup.

Tapi tentu saja itu tidak mungkin.

Bahkan setelah mengikut sertakan tabungan yang dikumpulkan Jamie sedikit demi sedikit, untuk menepati janjinya pada pendidikanku pun tetap tidak cukup.

Ruangan yang hening dengan penerangan yang seadanya dari ruang makan tempat kami berdiskusi, terasa sama mencekamnya dengan pikiran kami saat ini.

Jamie bahkan belum sempat mengganti jumpsuit yang dia gunakan dari repair shop waktu aku langsung menceritakan padanya tentang tagihan yang sampai pada kami.

Kami butuh banyak uang untuk membayar tagihan rumah sakit, dan sewa apartement. Masing-masing memiliki tenggat waktu yang berbeda namun saling berdekatan. Prioritas kami adalah rumah sakit Shawn tentu saja, tapi bukan berarti uang sewa tidak ikut dipikirkan.

Aku yakin hal itulah yang dipikirkan Jamie sekarang hingga membuatnya menghela napas berat untuk kesekian kalinya.

"Bagaimana kalau... kita pinjam uang ke Cay?" aku melirik ke arah Jamie, "Kita pinjam, lalu kembalikan setelah keadaan kita lebih baik." Tambahku cepat, takut akan membuatnya marah. Karena aku tahu meminta bantuan pada orang lain dalam bentuk uang adalah hal yang paling dibenci Jamie seumur hidupnya.

Tanpa balas menatap, laki-laki didepanku itu menggeleng. "Kita sudah pinjam pada Cay sebelumnya dan masih belum dikembalikan. Kita tidak bisa pinjam lagi."

"Arthur? Bagaimana dengan Arthur? Kau ingat bos ku di restoran kan? Dia orang baik, siapa tahu__"

"Kita tidak cukup kenal dengannya sampai berani meminjam uang." Potong Jamie cepat, menolak usulanku mentah-mentah.

Aku terdiam. Ikut mengusap wajah ku seperti apa yang dilakukan Jamie. Pikiranku buntu. Saat ini yang terbayang dikepalaku, jika tagihannya tidak segera dibayar, bagaimana kalau penanganan untuk Shawn dihentikan?

Aku nyaris putus asa. Tidak tahu harus melakukan apa. Jika saja ada yang bisa dijual, pasti sudah dijual, tapi kami tidak punya barang berharga apapun. Dan kalau saja ada orang yang cukup dekat dan bersedia meminjamkan uang, pasti akan segera ku datangi. Tapi siapa?

Ibu. Ibu ku.

"Bagaimana... dengan Ibu ku?"

Jamie yang mesih menyandarkan kepalanya pada satu tangan, sambil melirik ke kertas perhitungan di dekatnya langsug melirik ke arahku.

"Kita... bisa pinjam uang padanya." Kataku lagi. Dengan suara yang semakin kecil di setiap kalimat karena mendadak takut dengan cara Jamie memperhatikanku.

Jamie terus memperhatikanku tanpa kata-kata untuk beberapa detik yang terasa menyiksa.

"Jamie..." kataku berbisik.

"Apa kau tidak punya harga diri?"

Aku menelan ludah dengan susah payah. Mendengar kalimatnya yang menyakiti hati.

Chasing MemoriesWhere stories live. Discover now