Chapter 20

32K 4.5K 267
                                    

"Sudah... jangan terlalu cantik. Nanti aku bisa berubah pikiran." Jamie muncul dari pintu kamar yang terbuka lebar. Dengan Shawn bergelayut di pinggangnya, bersandar di frame pintu sambil menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Aku tersenyum, dan lanjut menyisir rambutku. Mengikatnya menjadi kucir yang rapi sebelum benar-benar menghadap ke arahnya.

"Aku serius. Jangan terlalu cantik di hadapannya, jangan genit, jangan senyum padanya lebih dari satu menit."

"Dengar Ayahmu konyol sekali, Shawn." Aku mencium pipinya, dan mengambilnya dari Jamie.

"Sudah ku bilang aku serius..."

"Jadi kau mau aku interview dengan baju tidur? Dan tanpa make up?"

"Kau juga masih cantik, seperti itu." Sebelah orbs biru itu berkedip ke arahku membuatku hanya bisa menggeleng dan tersipu.

Aku menolak untuk menatap wajahnya, dan membuat Jamie lebih puas lagi karena tujuannya tercapai. Kurasa sudah jadi misinya setiap pagi untuk menggodaku. Kadang-kadang hanya dengan rayuan-rayuan murahan seperti tadi, tapi seringnya juga kalimat porno yang membuatku merah padam.

"Kau tidak berubah. Seharusnya aku yang khawatir, setelah mendengar kata-kata rayuanmu itu." Kataku, melewatinya menuju dapur. Jamie terus membuntutiku. Bahkan saat aku sibuk mengambil sarapan, dia tetap berdiri di sebelahku. Kepalanya menyandar di cupboard, dan kedua tangan terlipat di dada. Senyum di wajahnya masih tetap sama, antara ingin merayu dan berusaha terlihat serius.

"Kau tahu, aku hanya merayumu."

"Aku juga begitu." Balasku percaya diri.

"Begitu apa?" tanya Jamie cepat.

"Aku juga hanya ingin cantik untukmu." Jawabku cepat tanpa pikir panjang.

Aku terdiam setelah mencerna kalimatku sendiri, dan melihat senyum Jamie makin lebar dan lebar.

"Maksudku... aku..."

"Aku beruntung sekali." Jamie mencondongkan kepalanya untuk menekankan bibirnya padaku.

"Sudah puas mengerjaiku?"

"Aku tidak akan pernah puas 'mengerjaimu,'" Jamie meremas pinggangku, "Tapi cukup untuk pagi ini. Masih ada waktu nanti malam."

"Jamie!" sergahku malu, namun hanya ditanggapi dengan dentang rendah tawanya. Aku benar-benar tidak percaya dia melakukan itu di depan Shawn.

Jamie benar-benar berhenti mengusiliku setelah itu (aku tidak mau menggunakan kata mengerjai lagi setelah mendengar kalimat Jamie tadi), dan membiarkan kami sarapan dengan tenang.

Hari ini adalah hari interview yang disepakati. Karena semua ini merupakan usulannya, Cay merasa itu haknya mengantarkanku ke kantor akuntan publik tersebut sebelum dia sendiri pergi kerja.

Semalam aku dan Jamie akhirnya menemukan tempat penitipan yang bagus dan aman untuk Shawn. Letaknya tidak begitu jauh dari repair shop, jadi Jamie bisa mengantar dan menjemputnya setelah selesai bekerja.

Semuanya berjalan dengan lancar. Tapi hal yang selalu berjalan mulus itu justru membuatku merasa gugup. Takut kalau akan ada hal buruk yang ternyata menanti.

Beberapa menit berselang, suara gaduh dari halaman depan jadi pertanda kalau Cay sudah sampai. Lengkap dengan pakaian yang jauh lebih elegan daripada aku. Dia langsung masuk ke dalam, dan sibuk menggendong Shawn. Jame ikut mengantarku ke depan. Membukakan pintu Mercy milik Cay untukku.

"Semoga berhasil." Jamie tersenyum ke arahku. "Sampai jumpa dirumah."

Aku mengangguk.

"Hati-hati, Cay." Jamie berseru waktu Cay mulai menyalakan mesin mobilnya.

Chasing MemoriesWhere stories live. Discover now