Chapter 4

62.2K 7.9K 244
                                    


Keesokan harinya, aku terbangun karena suara rengekan yang terdengar sangat dekat. Perlahan, kepalaku menoleh ke belakang sebelum seluruh tubuhku ikut berbalik ke arah asal suara dan melihat Shawn duduk di bawah kasur dengan kursinya. Tidak lagi memakai piama, dan terlihat sudah selesai mandi.

Entah sudah sejak kapan Shawn berada disana menungguku bangun, tapi sepertinya cukup lama hingga sekarang dia mulai merengek karena bosan. Shawn menggosok-gosok matanya dengan kepalan tangan yang mungil, pipinya terlihat merah, siap untuk menangis. 

Aku yakin Jamie yang meninggalkan Shawn disini. Dia tidak membangunkanku, tapi membiarkan Shawn yang melakukannya. Dia sangat tau kalau aku tidak akan pernah marah pada pria kecil ini, yang sekarang mamakai kaus biru dengan motif bola kaki dan celana pendek biru kecil. Rambut keemasannya di buat mohawk oleh Jamie.

"Hi..." aku beringsut turun. Mengikat rambut coklat sebahuku dan mulai mendekatinya. Shawn mengangkat kepalanya waktu mendengar suaraku, tapi bukannya tenang bibir Shawn justru makin mencebik. "Aww jangan menangis." Ku cium pipinya.

Shawn sudah harum ala bayi. Tapi mencium pipi tambun itu tampaknya adalah hal yang salah, karena sekarang dia benar-benar mulai menangis.

"Baiklah, kau pasti bosan ya? kita keluar sekarang. Shhh... anak manis." Aku membuka pintu kamar ku. Melihat ke lorong di sebelah kiri, mencari dia yang mungkin masih ada di rumah ini.

Di luar langit masih terlihat sedikit gelap. Udara dingin menyusup masuk bersama dengan lembabnya embun di tengah lingkungan yang penuh pohon. Membuatku terkejut waktu pertama kali mengijak ubin. Kemana Jamie pagi-pagi sekali?

Rumah ini terasa kosong, tidak ada siapapun selain aku dan Shawn. Tidak terdengar suara apapun. Semuanya terasa tenang. Hanya kicauan burung di luar yang mengingatkanku kalau rumah ini cukup jauh dari jalan raya.

Aku membawa Shawn turun ke bawah, melihat ke arah ruang tengah, ke teras di depan, hingga berakhir di dapur.

Rumah ini kosong kecuali aku dan Shawn. Shawn tidak lagi menangis, dia sekarang ikut melihat-lihat. Mata hazelnya memandangku, alisnya meliuk entah karena masih tidak terhibur, atau dia juga bingung kemana Ayah nya.

"Hmm? Dimana Ayahmu?" Aku mengusap bekas air mata di pipinya. Dia menggeleng menghindari tanganku.

"Kau tidak tau?" Aku merasa bodoh bicara pada bayi yang bahkan belum bisa mengatakan sepatah katapun. Tapi siapa peduli, aku yakin dia pasti sedikit mengerti hal dasar seperti siapa Ayahnya dan siapa Ibunya. Hal itu terbukti dengan Shawn yang mengenaliku walaupun aku tidak punya ingatan konkrit tentang darah dagingku sendiri. Aku hanya tau kalau aku punya ikatan kuat dengan pria kecil ini. Mungkin itu yang disebut naluri. Seorang Ibu akan mengenal anaknya bagaimanapun caranya. Tidak dengan ingatan, tapi dengan hati.

Bibir Shawn kembali mencebik.

Aku tersenyum geli, "Baiklah-baiklah, dasar penggerutu." Kataku dan membawanya ke arah dapur untuk mencari makanan.

Ku dudukkan Shawn di kursi bayinya, mengupas apel dan memberikan sepotong untuk dia hisap-hisap.

Waktu akan membuka kulkas, secarik kertas yang berisi pesan di tempel di pintunya dengan magnet kecil.

Aku pergi bekerja. Shawn sudah makan, Kalau kau lelah menjaganya, putarkan saja CD yang ku siapkan di atas meja di ruang tengah, dan jangan lupa obatmu.

Aku memandangi kertas itu sebelum menghela nafas panjang. Ku lipat benda itu sebelum memasukkannya ke dalam keranjang sampah dan mulai membuat makanan untukku. Aku baru saja akan mengambil susu di kulkas untuk membuat semangkuk sereal dan saat itulah telpon di lorong memutuskan untuk berdering.

Chasing MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang