Flashback 3

59.1K 6.4K 207
                                    

Sudah seminggu lamanya sejak kejadian mengerikan itu terjadi. Rasanya masih sulit untuk percaya kalau nyawa Rachel akan berakhir di tangan suaminya sendiri kalau saja bukan karena TV lokal menyiarkan penyergapan malam itu dan garis kuning milik polisi masih di pasang mengelilingi kediaman rumah Parker.

Kota kecil kami terkejut mendapati berita ini.

Tinggal di kota kecil berarti setiap orang mengenal satu sama lain. Putra siapa, berasal dari mana, dari keluarga seperti apa...
Semua orang saling mengenal.

Namun efek negatifnya mulai terasa disaat-saat seperti sekarang. Saat semua orang tidak bisa berhenti membahas hal ini. Ketika rasa empati mereka hanya bertahan beberapa hari dan mulai hilang, digantikan pertanyaan usil yang ingin tau.

Rumor beredar, kalau Derek kalap karena perselingkuhannya terungkap oleh Rachel. Ada juga yang mengatakan mereka bertengkar karena masalah ekonomi dan Rachel terlalu menuntut. Rumor menjijikkan yang bahkan membuatku kesal mendengarnya. Maksudku, kedua orang ini sudah meninggal lalu kenapa tidak tunjukkan sedikit rasa respect?

Namun rumor adalah bumbu kehidupan yang membosankan dan tidak bisa di hindari sebagian orang.
Tidak hanya diperuntukkan bagi kedua orang yang sudah meninggal itu, tapi juga pada dia yang di tinggalkan.

Sejak polisi berusaha menginvestigasi kejadian itu, bahkan hingga kasusnya ditutup, tidak ada yang melihat Jamie dimanapun. Dia tidak pernah terlihat di sekolah, bahkan di acara pemakaman kedua orangtuanya di kota ini. Disanalah rumor Jamie mulai muncul. Anggapan kalau dia sedang di rehabilitasi karena guncangan emosional yang dia alami. Stress berat, dan lari keluar kota. Juga masih banyak lagi gosip-gosip di sekolah dan di seluruh kota yang membuatku ingin berteriak, Mind your own business!! di depan wajah mereka.

Jamie memang pembully berhati dingin, tapi walaupun begitu menurutku dia tidak pantas mengalami hal buruk ini.
Begitu hebat tragedi, hingga aku merasa kasihan pada keluarga itu. Aku bahkan kasihan pada Jamie.

Hari itu di sekolah, selang beberapa detik setelah bel makan siang berbunyi, semua orang di kelas mulai membenahi barang-barangnya dan menuju kafetaria, dan seperti biasanya selama tiga tahun di SMA ini, aku selalu menunggu kerumunan menjadi sepi sebelum bergerak menuju perpustakaan untuk menghabiskan makan siang yang di buatkan Anita untukku.

Kedua tanganku di atas meja, jari-jarinya saling memuntir satu sama lain. Kepalaku tertunduk sebelum perlahan menoleh ke bangku belakang, tempat Jamie biasanya duduk. Bangku itu kosong, sudah hampir beberapa hari.

Ya kami berbagi homeroom bersama.

Aku kembali menghadap ke depan, dan bertemu pandang dengan Mr. Demour. Dia tersenyum waktu melihatku. Masih duduk di tempat yang sama, menunggu semua orang pergi ke kafetaria.

"Tidak mau buru-buru pergi ke kantin, Nora?" tanyanya basa-basi. Basa-basi yang selalu sama hingga benar-benar basi secara harafiah. Kurasa Mr.Demour selalu menanyakan hal yang sama setiap melihatku tetap tinggal menunggu yang lain pergi semua. Skenarionya selalu sama, Makan siang.

Aku mengedikkan bahu, berusaha mengulum senyum geli.

"Aku bawa makan siang sendiri."
Mr. Demour pun kurasa memikirkan hal yang sama dengan yang ku pikirkan dari caranya tersenyum sekarang.

"Makanan rumah memang lebih sehat dari pada yang mereka sajikan di kantin."

Aku tertawa geli.

"Ya. Aku bahkan tidak berani menyebutnya makanan." aku menyeringai, melihat Mr.Demour tertawa setelah mendengar perkataanku.

"Nora... Aku benar-benar akan merindukan pembicaraan membosankan kita ini, jika kau lulus nanti." ujarnya setelah sedikit tenang dari tertawanya.

"Aku juga begitu."

Chasing MemoriesWhere stories live. Discover now