Chapter 29

45.1K 4.6K 422
                                    

Don't go away, say what you say. 

But Say that you'll stay.

***

Semua orang pasti pernah melakukan kesalahan. Hal yang membuatnya berbeda bagi setiap orang adalah; secepat apa dia belajar dari kesalahan yang pernah dilakukannya dan segiat apa dia berusaha menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya.

Dulu, jika Ibu tidak sedang sibuk dia sering menceritakan biografi orang-orang hebat. Kisah masa kecil mereka, apa yang mereka lakukan hingga sukses seperti sekarang, dan hal yang pernah menjadi kesalahan bagi mereka saat itu. Mereka juga tidak luput dari hal itu.

Jika orang-orang hebat saja pernah melakukan kesalahan, lalu apa istimewanya orang-orang seperti kami? Yang terkadang masih mementingkan diri sendiri, dan ketika dihadapkan dengan sebuah rintangan pasti masih mengharapkan jalan pintas yang jauh lebih cepat. Apa istimewanya aku yang selalu menganggap diriku tahu segalanya padahal tidak? Atau Jamie yang suka mengambil keputusan cepat tanpa memikirkan efek jangka panjangnya dan merasa semuanya bisa dia atasi sendiri.

Apa yang Jamie lakukan memang bukanlah hal remeh. Bukan kesalahan yang bisa diselesaikan dengan sekali permintaan maaf saja. Tapi ketika membayangan ekspresi khawatirnya begitu melihatku sakit, atau bagaimana dia menyayangi Shawn, aku tidak pernah bisa melabelinya dengan predikat buruk.

Bagiku dia tetap Jamie. Laki-laki yang suka menggodaku sebelum menarikku ke dalam pelukannya yang hangat, atau yang membelikan kopi untukku dengan uang terakhirnya. Orang yang ingin memberiku dunia dengan kemampuannya yang terbatas.

Malam itu setelah berkemas hal-hal yang kami butuhkan, aku tidak bisa tidur. Mataku terus terjaga, ditemani sekelabat bayangan hari esok yang membuat perasaan cemas ini pasang surut. Bahkan Jamie yang memelukku rapat ke tubuhnya tetap tidak mampu mengenyahkan perasaan ini.

Ku pandangi dia walau dengan cahaya seadanya. Bagaimana wajahnya, dadanya yang naik turun karena helaan napasnya, hingga jemarinya yang masih tersemat cincin pernikahan kami.

Jamie bukan orang jahat. Dia hanya sedikit tersesat dan butuh bimbingan untuk keluar.

Ku usap lembut rambut yang menutupi keningnya untuk melihat wajah Jamie. Bahkan di tidurnya dia tetap tidak terlihat damai sedikitpun. Ibu jariku mengelus keningnya berulang-ulang, berharap tidurnya akan semakin nyenyak dengan sentuhan yang ku lakukan. Tapi sepertinya tidak hanya aku yang terjaga malam ini.

"Kenapa tidak tidur?" matanya membuka perlahan dan menoleh ke arahku.

Aku berhenti mengelus keningnya dan meletakkan tanganku diatas dadanya "Maaf, aku membangunkanmu?"

"Tidak juga."

"Tidak bisa tidur juga?"

"Bisa, kalau kau tidak memandangiku wajahku terus." Jawabnya. Mempererat pelukannya ke tubuhku. "Kelakuanmu sudah mirip penggemarku waktu SMA dulu." Ujarnya, membuatku tersenyum. Langsung bisa membayangkan gadis-gadis hormonal penggemar otot atlit sepak bola sekolah kami dulu.

"Kau tidak bisa menyamakanku dengan penggemarmu." Kataku berusaha menyanggah tubuhku dengan kedua siku, " Karena mereka tidak bisa melakukan ini," Kucium pipinya lambat-lambat sebelum melihat kembali wajahnya, lalu perlahan menekankan bibirku untuk memberinya ciuman singkat yang membuatnya tersenyum kecil.

"Jamie..."

"Hmmm?"

"Kalau kita lolos dari keadaan ini, kau mau berjanji sesuatu padaku?"

Chasing MemoriesWhere stories live. Discover now