Chapter 14

39.2K 5.1K 179
                                    

Suasana terasa sunyi senyap. Waktu seperti terhenti ketika Jamie berlutut di depanku dengan sabar. Orbs biru yang bercampur dengan warna kelabu tersebut tak pernah berhenti menatap dan menanti jawaban. Membuatku menelan kembali apa yang sangat ingin ku katakan  dan malah berubah menjadi rasa penyesalan.

Aku mencoba mengalihkan pandangan ke arah jendela. Ke arah langit yang tampak terang oleh sinar matahari, tetapi ditutupi awan-awan. Seperti layaknya pemandangan normal untuk rumah di tengah pohon pinus di pagi hari.

Pikiranku kembali mereka-reka apa yang baru saja kukatakan, serta mencernanya baik-baik. Dan bagaimanapun aku berpikir, rasanya tetap saja tidak menemukan pembenaran jika aku setuju Sarah dipecat.

Pikiran rasionalku mengambil alih dan mulai mencetuskan alasan yang lebih masuk akal;
Kalau Sarah terlalu berharga untuk usaha Jamie yang masih dalam tahap merintis. Karena bagaimanapun, Sarah lah orang yang mengenalkan Jamie pada orang-orang yang punya event menguntungkan, dan mendatangkan uang untuk usaha Jamie. Dia juga punya banyak pengalaman di bidang layanan jasa seperti ini.
Intinya, Sarah adalah aset berharga yang tidak bisa di lepas tanpa pengganti yang jelas.

Semua alasan itu cukup untuk membuatku kembali menelan perasaan tidak aman yang kerap muncul tiap kali melihat Sarah. Mereka bahkan tidak melakukan hal diluar kewajaran. Jamie dan Sarah selalu berlaku seperti bos dan karyawan, tidak lebih...

Dan lagi, aku bahkan tidak menginginkan Jamie pada awalnya, lalu kenapa sekarang merasa terancam seperti ini?

Aku menghela napas lelah, lalu menunduk memperhatikan tangan Jamie yang terasa kasar, kini masih memegangi tanganku.

"Kau baik-baik saja?" ku dengar dia bertanya, mengangkat daguku lembut agar kembali melihat ke arahnya.

Bibirku melengkung, membentuk senyum miris, "Kau benar... aku memang konyol marah padamu untuk urusan ini. Kurasa selain otakku, mood-ku juga tidak sehat."

"Kau pasti sering kesal karena aku?" Bisikku pelan.

Jamie mendengus, "Ya. Kadang-kadang." katanya tidak membantah,
"Tapi aku lebih senang kau buat kesal dari pada ketakutan seperti waktu polisi menelponku dan bilang kau tidak sadarkan diri di rumah sakit."

"Aku lebih suka kita bertengkar untuk sesuatu yang konyol, berargumen untuk sesuatu yang sebenarnya mudah, melihatmu mengerutkan kening tiap aku menjawab dengan lelucon, daripada kau diam saja dan hanya ada suara mesin yang menjawabku." Ibu jarinya mengusap tanganku.

"Aku disini sekarang..." bisikku. Mencoba menyemangatinya

"Ya aku tau. Karena itu aku tidak mau ada penyesalan lagi. Tidak semua orang cukup beruntung diberi kesempatan kedua sepertiku. Apapun yang membuatmu merasa aman, akan kulakukan sekarang ini." Jelas sekali, yang dimaksud Jamie adalah keputusanku saat ini mengenai Sarah.

"Dia banyak membantumu mendapat pekerjaan kan?" Tanyaku. Jamie terlihat menimbang-nimbang apakah aku baru saja melontarkan pertanyaan jebakan atau tidak.

Cukup lama akhirnya dia baru menjawab dengan anggukan kecil dan suara yang pelan, "Sarah punya terlalu banyak koneksi."

"Menurutmu bijak jika memecatnya hanya karena aku tidak suka padanya?"

"Aku tidak peduli. Pasti ada cara lain untuk mendapat uang."

Aku menggeleng, "Tidak. Jangan." Bisikku pelan, "Jangan pecat dia."

Jamie menyingkirkan rambut yang menutupi wajahku, sebelah alisnya terangkat.
"Jangan? Kau yakin."

"Ya." Aku menelan ludah dengan susah payah untuk memberikan alasan, "Dia aset berharga usahamu saat ini. Dan aset seperti itu tidak boleh dilepas tanpa pengganti yang jelas. Jadi sampai usahamu lebih dikenal orang, atau kau menemukan pekerja yang lebih baik dari dia. Kurasa kau belum bisa memecatnya."

Chasing MemoriesHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin