Flashback 10

29.1K 4.6K 321
                                    


Now hush little baby don't you cry
everything's gonna be alright.
-Mockingbird-

Kalau orang tanya pendapatku tentang Jamie Parker setelah beberapa tahun hidup dengannya, maka jawabanku adalah dia laki-laki yang sulit. Sifat yang tempramental dan gampang main tangan merupakan hal yang paling buruk dari diri Jamie dan ingin sekali ku ubah jika saja itu semudah membalikkan telapak tangan.

Sangat gampang membuat Jamie marah. Hanya cukup mengeluh kalau ada seseorang yang menyinggungku, atau menghina, atau menyakiti. Terserah bagaimanapun caranya, atau seremeh apa persoalannya, segera setelah ceritaku berakhir perubahan air mukanya akan sangat kentara. Dia kemudian akan mulai bertanya nama, dan tempat dimana dia bisa menemui orang itu. Dan kalau aku tidak mau memberitaunya, Jamie akan pergi untuk mencari tahu sendiri, persis seperti maniak.

Aku pernah tidak sengaja melakukan itu, tidak sengaja mengadu waktu kami sedang berbaring menanti tidur. Dan malam itu langsung menjadi malam yang melelahkan karena aku perlu memohon pada Jamie agar dia tidak terlibat masalah di malam buta seperti waktu itu.

Namun terlepas dari semua sifatnya tersebut, dia tidak pernah marah pada orang-orang yang dikasihinya. Yang ada, perilakunya justru sangat baik dan manis untuk ukuran Jamie. Ayah yang baik, dan partner hidup yang supportive. Aku tidak pernah berpikir, suatu hari nanti dia akan meninggikan nada suaranya, dan menatap dengan mata marah kepada ku.

Sampai hari itu...

Ketika Jamie pulang lebih awal. Dari Event yang memperkerjakannya sebagai crew di sebuah acara balapan, yang disponsori oleh sebuah perusahaan ban mobil.

Waktu itu, Jenny senang sekali bisa menemukan Ayahnya di rumah setelah bangun dari tidur siang. Dia langsung mengajak Jamie bermain. Keduanya sibuk berduaan, selama aku melakukan pekerjaan rumah.

Mereka duduk di lantai ruang tengah, tepat di depan meja.
Jamie waktu itu memangku Jenny, dan bersama mereka mewarnai kertas gambar dengan tekun. Berusaha keras untuk berkonsentrasi agar tidak mewarnai di luar garis. Dengan lidah yang tanpa sadar menjulur ke samping dan alis yang bertaut, membuatku diam-diam tertawa sebelum masuk ke ruang cuci untuk menyelesaikan tugasku.

Ketika aku kembali dengan pakaian yang sudah kering dan akan disetrika, tiba-tiba saja Jenny muncul sambil menarik ujung pakaianku, dan menengadah dengan susah payah.

"Ibu... Aku mau pakai jaketku."

"Pakai Jaket? Untuk apa?" tanyaku, meletakkan keranjang pakaian yang ku pegang ke atas meja makan, kemudian berjongkok ke arahnya.

Dia langsung tertawa girang, mendengar pertanyaanku. Tawa yang cukup untuk membuatku ikut tersenyum, walaupun tidak terlalu mengerti.

"Ayah mau membelikanku boneka teddy dari toko yang waktu itu..." katanya bersemangat.

"Oh..." mataku langsung mengerjap-ngerjap tidak mengerti. Karena ku kira, akulah yang akan membelikan Jenny boneka, sebab yang kemarin itu kebohonganku. "Ayah yang bilang begitu?"

"Iya! Dia bilang begitu!!" Serunya girang. Seringaian tidak pernah lepas dari wajahnya.

"Ayah bilang, minta tolong Ibu pakaikan Jaket dan sepatuku. Tolong Bu, please?"

"Baiklah..." lalu aku bangkit dari posisi berjongkok tadi dan berjalan ke arah gantungan jaket untuk mengambil Jaket kuning dengan gambar bebek-bebek kecil. Jenny mengikutiku dengan patuh, dan merentangkan tangannya waktu aku memakaikan benda itu.

"Dimana Ayahmu? Kenapa tidak ada?"

"Ayah tadi pergi ke kamar. Mau pakai Jaket juga, katanya." Jawab Jenny lagi.

Chasing MemoriesWhere stories live. Discover now