"Devika," bisik Fabian lembut seraya mengusap pipi Devika. Ia senang bukan main karena Devika sekarang bersama dengannya. Mereka memang belum bisa bercinta, tapi bila ia bisa memeluk Devika sudah lebih dari cukup untuknya malam ini.

Devika menggeliat pelan, perlahan matanya terbuka. "Sudah pulang?" tanyanya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur setelah pandangannya jelas.

"Kenapa tidak tidur di kamar?" Fabian masih mengusap pipi Devika. Menyentuh tubuh Devika tak pernah cukup untuk Fabian, biarpun hanya menyentuhnya di pipi wanita itu.

"Nungguin kamu! Kenapa malam sekali baru pulang?"

"Lembur."

"Kau sudah makan?"

"Sudah."

Keduanya kemudian terdiam. Fabian dengan usapan lembut tangannya di pipi Devika sementara Devika memandangnya dengan pandangan sayang.

Sama halnya dengan Fabian yang tak bisa jauh dari Devika, Devika pun begitu tergila-gila dengan pria di depannya itu. Karena sangkin rindunya tak bertemu selama tiga hari, Devika mati-matian mencari cara agar bisa bertemu dengan Fabian. Ia menjadi kesal karena ayahnya seolah-olah mencari alasan untuk menjauhkannya dari Fabian. Padahal entah sudah berapa kali ia menjelaskan kalau Fabian sudah melamarnya dan mereka saling mencintai. Semua yang dikatakannya seolah hanya menjadi angin lewat untuk ayahnya. Devika tidak mengerti, sebenarnya apa yang diinginkan oleh ayahnya itu.

***

Fabian ingin menanyakan bagaimana reaksi ayah Devika dengan lamarannya. Tapi kemudian mengurungkan niatnya itu, tengah malam begini tidak cocok membahas topik yang berat. Apalagi Devika sedang mengantuk.

Kekeraskepalaan Adam yang tak berhenti dalam usahanya menghancurkan dirinya seharusnya sudah bisa menjadi jawaban. Hanya saja Fabian masih ingin jawaban yang sesungguhnya dari Devika, ia tak ingin menduga-duga.

"Ada apa?" Devika menyentuh tangan Fabian, tampaknya ia menyadari kerisauan pria di depannya tersebut. "Apakah kau sakit?" Tangan Devika naik ke kening Fabian.

"Aku baik-baik saja! Aku hanya lelah. Istirahat pasti bisa pulih lagi."

***

"Kamlu yakin baik-baik saja?" Devika masih cemas, pasalnya sejak tadi Fabian tak banyak bicara. Setelah mandi, pria itu hanya memakai bokser lalu berbaring di tempat tidur. Tanpa interaksi lebih dengannya. Ciuman singkat dibibir pun tidak ada. Padahal sudah tiga hari mereka tidak berjumpa, Fabian tidak seperti biasa.

"Tidurlah, Devika!" Fabian berbicara dari balik bantal. Hal itu semakin memperkuat rasa penasarannya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua pagi, tapi jika Fabian tak memberitahu apa masalahnya dia tidak akan bisa tidur.

"Mau aku pijit?" Devika menyentuh punggung telanjang Fabian, menawarkan keahliannya yang paling disukai pria itu.

Fabian membalikkan badan, matanya menatap Devika dengan serius.

"Datang bulanmu sudah selesai?"

"Belum," jawab Devika, sedikit memerah karena pertanyaan pribadi itu.

"Jadi jangan memijitku! Aku tidak akan tahan dengan godaanmu."

"Tapi aku kangen," bisik Devika, melihat kecelana tidurnya. Takut memandang Fabian. ''Kau belum menciumku dari tadi."

"Ya ampun, Devika!" Fabian terduduk, menangkup pipi perempuan itu dengan kedua tangannya kemudian menciumnya dengan lembut. Tidak tergesa-gesa apalagi kasar. Ciuman kali ini murni karena rasa rindu dan sayang. "Sudah, kan?" gumam Fabian, merasa terhibur dengan tingkah Devika. "Sekarang tidur!" tambah Fabian pelan namun tegas.

I Feel The Love (Playstore)Where stories live. Discover now