Bagian - 21

50.9K 3.3K 75
                                    


"Fabian?" Devika memanggil Fabian, pria itu tampak serius memandang leptopnya, sesekali pria itu mengetikkan suatu kalimat di sana.

"Hhmm?"

"Ayah menyuruhku pulang malam ini," ujarnya, sedikit kurang yakin Fabian mengijinkannya pergi. Beberapa hari terakhir ini hubungan keduanya kembali membaik. Devika cukup sabar menjalani ikatan yang tak menentu itu. Kadang mereka baikan, terkadang lagi saling marah dan berujung tidak bercakapan. Adam, ayahnya itu tadi sore menghubunginya. Ayahnya meminta Devika pulang, karena ada sesuatu yang ingin beliau katakan.

Fabian mendongak, wajah datarnya selalu tampan dalam segala kondisi. ''Sekarang?"

Devika mengangguk. ''Iya. Boleh?"

Fabian menutup leptopnya kemudian meletakkannya di atas meja di samping tempat tidur. Pria itu turun dari ranjang, berdiri di hadapan Devika.

''Aku akan mengantarmu," katanya. "Sebentar aku ganti baju dulu"

***

''Kapan kau mulai bekerja?" Fabian bertanya, mereka saat ini sedang dalam perjalanan ke rumah Devika. Fabian menyelip mobil di depannya dengan mudah, kemudian kembali melaju normal.

Dua hari yang lalu--setelah penantian Devika yang lumayan panjang-- akhirnya salah saru perusahaan tempatnya melemparkan lamaran meneleponnya. Tadi pagi ia interview dan diterima.

"Senin depan."

"Aku masih bingung kenapa kau tidak mau bekerja di perusahaanku." Fabian fokus menyetir, sesekali kepalanya menoleh menatap ke arah Devika yang duduk di sebelahnya.

Fabian sudah berulang kali menyuruh Devika berkerja dengannya namun wanita itu menolak. Fabian tidak memaksa.

"Aku nggak mau nanti dibilang bisa bekerja di kantor kamu karena ada kamu di sana." Devika nyatanya tidak suka dipandang rendah. Dia merasa punya kemampuan, tanpa bantuan orang yang dikenalnya ia yakin kalau bisa dapat pekerjaan.

"Bukan karena tidak suka terus melihatku, kan?"

"Hah?"

''Dari sore, malam dan bangun pagi kau selalu melihat wajahku. Mungkin kau tidak senang?" Fabian menoleh lagi, menanti apa yang akan dikatakan oleh Devika, tapi perempuan itu hanya memandangnya dengan diam. Tidak tahu harus mengucapkan apa, hanya wajahnya yang memerah yang bisa menjadi indikasi akan kebenaran perkataan Fabian. Tapi bukan karena tidak senang akan keberadaan pria itu. Bukan. Yang menjadi masalahnya adalah kalau Fabian terus berada di sekitarnya, Devika tidak akan bisa fokus bekerja.

Fabian adalah kelemahannya.

"Sampai." Fabian mematikan mesin mobil beberapa saat kemudian. Ia sengaja tidak masuk ke halaman rumah Devika, saat ini bertemu dengan Adam bukan hal yang bagus baginya. Konspirasi pria paruh baya itu dan pegawainya membuat Fabian tak lagi suka pada Adam. Ia sangat membenci penghianatan. Jika bukan karena melihat Devika, Fabian sudah membuat perhitungan keras pada Adam. Ia tidak main-main dengan emosinya.

Tapi Devika pasti sedih bila ayahnya terluka. Bayangan Devika menangis sudah mampu membuat hatinya gusar. Semakin hari dirinya mendapati bahwa hatinya melembut terhadap wanita tersebut. Perasaan ingin melindungi, menyayangi dan menjadikan Devika miliknya kerap menghantui pikirannya.

Yang bisa dilakukannya sekarang hanya mengawasi tindak-tanduk Adam. Jangan sampai ia kecolongan dan membiarkan rencana busuk pria itu mengganggu bisnisnya.

Devika membuka seat beltnya, ia hendak turun tapi tangan Fabian memegang sikunya. "Tunggu, Devika."

Perempuan itu mengurungkan niatnya yang akan keluar dari mobil, ia menatap Fabian.

I Feel The Love (Playstore)Where stories live. Discover now