Bagian - 1

71.3K 4.2K 17
                                    

"Jangan coba-coba menipuku, Pak tua." Desis Fabian, rahangnya mengeras dipenuhi emosi. "Aku sudah bosan dengan janji-janjimu yang sialan tak pernah kau tepati. Kesabaranku sudah habis, aku akan melaporkanmu ke Polisi."

"Kumohon jangan," pria yang tadi disebut sebagai Pak tua itu berkata pelan, ditatapnya lelaki di depannya dengan penuh permohonan. "Aku pasti akan membayarnya. Kumohon beri aku satu kesempatan lagi."

Fabian menaikkan kakinya hingga saling menindih, tangannya terlipat di lutut dengan cara yang elegan. Pandangannya pada pria paruh baya di depannya itu begitu dingin, mata abu-abunya semakin pucat.

"Itulah yang kau katakan sejak empat tahun yang lalu," gumamnya, menarik sudut bibirnya hingga tersenyum merendahkan. "Bahkan aku sudah tidak bisa menghitung berapa kesempatan yang telah kuberikan. Jangan membuatku muntah dengan tatapan memohonmu itu, Pak tua."

"Aku berjanji---"

"Jangan berjanji kalau kau tidak bisa menepatinya," bentaknya. "Waktumu tiga hari. Lunasi hutangmu atau," Fabian berdiri, ia memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Selamat mendekam dalam penjara," sambungnya kemudian.

Fabian berjalan meninggalkan pria itu, tak sedikitpun tersentuh pada tatapan sedihnya. Bila ia mudah kasihan, tidak mungkin dirinya bisa seperti sekarang. Pencapaiannya kini bukan hasil dari belas kasihan, melainkan kerja keras dan upah dari tangan dinginnya yang tidak diragukan lagi telah memberikan keuntungan besar bagi perusahaannya.

Bisnis adalah bisnis. Tidak ada tawar-menawar.

Di luar, supir pribadinya telah menunggu dengan pintu mobil terbuka. Fabian masuk kedalam mobil. Selanjutnya ia akan bertemu dengan pembangkang lainnya.

***

Di ruangan lain di tempat yang sama, seorang gadis bersandar di dinding sambil menangis. Semua percakapan ayahnya dengan Fabian, ia mendengarnya. Ia tidak percaya dengan semua yang telah ia dengar.

Utang.

Penjara.

Ayahnya terlilit hutang dan terancam masuk pencara.

Ia menekan kepalan tangannya di mulut, meredam isakannya. Selama ini ia pikir semuanya baik-baik saja, tak terlintas di kepalanya ayahnya yang ceria ternyata menyembunyikan masalah sebesar ini darinya.

Kenapa? Lirihnya dalam hati. Padahal hanya mereka berdua yang dimiliki satu-sama lain. Ia tidak mempunyai saudara, ibunya meninggal lima bulan setelah melahirkannya. Selama ini hanya ayahnya yang ia miliki. Ia berpikir ia telah mengenal ayahnya, ternyata salah.

Empat tahun kata lelaki tadi. Itu berarti sudah selama itu ayahnya menyembunyikan masalah ini darinya. Itu berarti segala senyuman yang pria itu perlihatkan padanya adalah kebohongan karena nyatanya pria itu tidak bahagia.

Devika semakin terisak, ia menggigit bibir bawahnya dan memejamkan mata. Sekarang apa yang harus ia lakukan untuk membantu ayahnya? Demi apa pun, ia tak akan membiarkan ayahnya dipenjara. Ayahnya sudah tua, berada di dalam sel hanya akan membuatnya semakin menderita. Tidak menutup kemungkinan pria itu akan sakit dan...pada akhirnya meninggalkannya seorang diri di dunia ini.

''Tidak," lirih Devika. ''Tidak."

***

Devika mengetuk pintu ruang kerja ayahnya. Setelah mendengar suara mengijinkannya masuk, ia membuka pintu.

"Kenapa Ayah belum tidur?" tanyanya, ia meletakkan coklat panas di atas meja kerja ayahnya. ''Aku buatkan coklat panas untuk Ayah."

"Terimakasih, sayang," Adam melepas kacamatanya lalu meletakkannya di atas meja, di sebelah gelas yang diletakkan Devika tadi. "Masih ada pekerjaan yang harus Ayah kerjakan."

Devika naik ke atas pangkuan Adam, ia meringkuk seperti bayi, dikalungkannya lengannya di leher ayahnya itu. Sudah lama ia tak bermanja-manja seperti ini. Kemudian ia mengingat kalau ayahnya memang jarang punya waktu untuknya sekarang ini. Adam pasti bekerja keras melunasi utang-utangnya. Mereka tak lagi punya waktu untuk liburan seperti dulu, dulu sekali.

"Sudah malam, Ayah," ujarnya pelan, Devika menyandarkan pipinya di dada bidang yang tak setegap dulu namun masih memberinya kenyamanan. Dada inilah yang dulu tempatnya berbaring, ketika hujan turun, ketika ia ketakutan karena suara petir di tengah malam. Dada pria yang ia sayangi. "Jangan terlalu memaksa, nanti Ayah sakit."

Adam memeluk bahu Devika, ia menghela napas lelah. Ia tak bersuara, hanya terus memeluk putrinya itu.

"Devika sayang Ayah, sangat sayang," Devika menengadah, menatap ayahnya yang menatap kosong ke arah depan. ''Jangan sakit, Ya."

"Ayah juga menyayangimu, sayang," Adam mengecup ujung kepala Devika dengan sayang. "Kau adalah harta Ayah yang paling berharga."

Lama mereka saling memeluk, saling diam dengan pemikiran masing-masing. Begitu banyak hal yang telah terjadi, mereka melewatinya berdua. Ada suka, duka, Devika selalu berada di samping ayahnya. Adam menyaksikan sendiri putrinya tumbuh. Dari bayi menjadi gadis cantik seperti sekarang, dan ia sangat bahagia menghabiskan setiap momennya.

Dan kini, ketika sesuatu yang begitu besar mengancam kebahagiaan itu, Adam merasa takut. Ia bukan takut akan dirinya, melainkan takut untuk gadisnya ini. Jika ia dipenjara, bagaimana dengan Devika? Devika terbiasa hidup mewah, setidaknya ia tidak kesulitan berbaur dengan teman-temannya sesama anak orang kaya. Devika memang bukan gadis yang suka bergaya dengan barang-barang bermerek, ia bukan perempuan yang suka menghambur-hamburkan uang orangtuanya. Namun, Devika gadis yang manja. Ia tidak terbiasa sendiri, ia gadis lemah dan membutuhkan perlindungan. Ia selalu takut bila sendirian, karena itulah dari dulu rumah tak pernah sepi dari para pelayan. Adam selalu memperkerjakan mereka, untuk menemani putrinya tersebut.

Saat nanti ia dipenjara, tidak akan ada lagi para pelayan. Rumah ini pun akan disita, kemana gadisnya akan pergi?

Adam mengangkat kepalanya, matanya berkaca-kaca penuh keputusasaan. Tiga hari waktu yang ia punya, dengan waktu sesingkat itu apa yang bisa dilakukannya sedangkan waktu bertahun-tahun yang telah lewat tetap tak mampu memperingan hutang-hutangnya.

Devika tahu ayahnya sedang bersedih. Walaupun pria itu tidak mengatakannya, ia tahu. Ia bisa merasakannya.

Satu hari ini, Devika telah menghabiskan waktunya mencari cara melepaskan Ayahnya dari lilitan utang. Namun apa pun yang terlintas di dalam pikirannya terasa buntu. Apa yang bisa ia berikan, ia tidak punya uang. Tabungannya ada tapi sedikit, tidak mungkin cukup. Dan ia tak memiliki teman yang bisa meminjamkannya uang sebesar utang Ayahnya itu.

Devika tidak tahu berapa jumlah pasti utang ayahnya, namun ia tahu jumlah itu pastilah sangat besar hingga walau bertahun-tahun syahnya masih belum bisa melunasinya.

Tapi...ia akan mencoba!
Mencoba berbicara dengan pria tadi, apa pun akan ia lakukan untuk menyelamatkan ayahnya. Waktu ayahnya pasti tidak banyak lagi di dunia ini, Devika ingin di saat-saat terakhir ayahnya, pria itu merasakan kebahagiaan. Bila perlu, ia akan bekerja seumur hidup tanpa digaji. Rasanya itu sepadan dengan hilangnya gurat kelelahan pada wajah ayahnya.

Selama ini, Ayahnya telah memberikan segalanya untuknya. Tak pernah sekali pun keinginannya tidak diberikan, ia diperlakukan bagai seorang putri raja.

Mungkin, sekaranglah saatnya ia membalas semua yang telah ayahnya lakukan.

"Aku sayang, Ayah." Devika mengulang kembali kalimatnya, dalam hati ia berdoa semoga semua akan baik-baik saja.




Tbc...

Hari ini aku up date cast, prolog dan bagian satu. Chapter duanya akan aku up date besok.

I Feel The Love (Playstore)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon