Bagian - 17

59.7K 3.7K 117
                                    

Typo koreksi bersama😚😚

Semoga suka, ya😉
Jangan lupa votemen!!

_________________________




Devika Pov
____________




"Hayo, kenapa itu bibir senyam-senyum kayak tukang bubur dapat sembako gratis?" Suara Cindy yang cempreng menyambut begitu aku memasuki Toko sepatunya yang pagi ini lumayan ramai.

"Apaan sih?" Aku melengos melewatinya dan meletakkan tas selempangku di atas satu-satunya meja yang ada di ruangan ini. "Sudah rame saja," aku melirik beberapa pembeli yang tampak tertarik memilih-milih dibantu oleh karyawan Cindy.

''Halah," Cindy menghampiriku, dia menghempaskan bokongnya di atas sofa. "Tidak usah ngalihin pembicaraan! Kenapa kau kayanya senang sekali pagi ini? Seingatku baru saja tadi malam kau terisak-isak karena si playboy Fabian. Apa yang terjadi dalam waktu sesingkat ini, hhmm?"

"Geser sedikit." Aku duduk di sebelahnya. Bibirku tersenyum mengingat betapa bedanya Fabian pagi ini, dia jadi lebih lembut. Kami sarapan bersama, aku yang memasak. Tentu saja dengan menu yang sama seperti yang sering kumasak untuknya dan satu-satunya yang kutahu. Apalagi kalau bukan nasi goreng. Tapi untung saja dia sepertinya suka, buktinya nasi goreng yang kusiapkan di piringnya habis tak bersisa. Setelah itu dia tidak langsung berangkat ke kantor, kami bercinta sekali lagi. Dan rasanya percintaan kami kali itu terasa semakin nikmat dan membuatku candu. Bukan, bukan karena keperkasaannya yang luar biasa. Tapi, ada sesuatu yang berbeda dengannya. Aku tidak tahu persisnya apa yang berbeda, tapi aku sangat nyaman dan lebih lepas saja. Tidak menahan-nahan lagi, tidak ada keterpaksaan lagi. Dia juga mengantarku ke sini--ke toko Cindy--tanpa kuminta. Dan...yang membuat senyum sialanku ini terus terpatri di bibirku adalah ciumannya yang lembut sebelum aku turun dari mobil tadi. Dia memegang tengkukku dan mengecup singkat bibir bawahku. Yah, hanya seperti itu dan aku sudah melumer bak coklat yang dipanaskan.

"Yee, malah nyengir memulu." Cindy mencibir. "Sudah baikan pasti, kan?"

"Hhmm," aku mengangguk sekali. "Dia zudah pulang, Cindy. Sudah tidak ada kesalapahaman lagi di antara kami."

"Lho, bukannya Fabian ada di Nias."

"Sudah pulang tadi malam."

''Serius," gumam Cindy dengan tatapan tak percaya.

Aku saja pasti tidak percaya kalau tidak melihatnya sendiri, dia tidur satu tempat tidur denganku dan percintaan kami pagi tadi. Semua seperti mimpi, apalagi dengan perubahan sifat dinginnya itu. Karena biasanya Fabian mana pernah peduli pada apa pun.

"Hhmm," aku mengangguk lagi. "Tadi saja yang mengantar aku ke sini Fabian."

"Pantesan," Cindy mendengus. ''Jangan marah-marahan lagi, tidak baik untuk kesehatan."

"Aku juga tidak ingin bertengkar sama dia. Fabian itu kalau marah, ya ampun kata-katanya itu tidak disaring. Membuat hati sakit."

"Makanya jangan pacaran sama laki-laki yang hampir sempurna macam dia. Kelakuan pria seperti itu memang keseringan brengseknya."

Tapi kami kan belum ada status pacaran. "Tapi pagi ini dia sudah tidak kasar lagi, bicaranya sudah lembut."

"Mungkin saja dia baik cuma satu hari. Terus besok-besok dia marah-marah lagi. Bentak-bentak lagi. Teriak-teriak lagi. Terus kau nangis-nangis lagi. Tidak ingin punya cowok yang netral saja, gitu?"

"Maksudmu?" Aku memang belum bercerita secara lengkap tentang hubunganku dengan Fabian pada Cindy. Mungkin dia berpikir aku dan Fabian berpacaran padahal sebenarnya tidak.

I Feel The Love (Playstore)Where stories live. Discover now