Bagian - 13

54.7K 3.7K 55
                                    

Typo bertebaran😂😂 bantu koreksi, ya!!

Jangan lupa vote & komen,, woke!!😉😉

Happy reading

____________________________________________________














"Ya ampun! Harusnya kau lihat mukamu di kaca sana," Cindy mengejek Devika yang terlihat lesuh pada pagi menjelang siang ini. ''Fabian belum juga pergi tapi kau sudah seperti akan mati."

Devika menghela napas, tersenyum kecut mengingat percakapannya dengan Fabian pagi ini. "Aku bingung, Cin," ujarnya, ia membantu merapikan sepatu di toko Cindy saat ini. ''Dia punya perasaan tidak, sih? Kenapa hobinya selalu membuat aku sakit hati terus, ya?" Selepas mengantar Devika ke Toko sepatu Cindy, mobil Fabian berlalu mengantar pria itu ke kantornya. Pagi ini Fabian diantar sopirnya, meski begitu tak banyak yang mereka bicarakan selama perjalanan. Bahkan terkesan dingin suasana di dalam mobil itu. Devika telah kehilangan mood-nya detik ketika Fabian mengatakan bahwa dirinya berlebihan karena meminta pria itu menjaga hatinya.

Ck, harusnya Devika lebih pintar untuk tidak meminta hal seperti itu pada Fabian. Kalau tidak ingin hatinya terluka.

"Aku juga bodoh tidak bisa menahan perasaan," rengek Devika, terbiasa mendapatkan apa yang diinginkannya. ''Bayangkan!" Sambungnya lagi, melirik sahabatnya dengan putus asa. "Aku bahkan sudah merindukannya padahal dia belum pergi. Sedangkan di matanya aku ini bukan apa-apa selain...selain..." Devika kembali menghela napas, tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Rasanya status itu akan lebih menyakitkan bila disebutkan secara gamblang.

Toko sepatu Cindy tidak terlalu besar. Luasnya hanya 7×8 meter. Terletak di salah satu mall di pusat kota. Saat ini penjualan tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pembeli dan sudah ada pekerjanya yang menangani. Devika dan Cindy berada di ujung, sudut toko itu. Tempat kotak-kotak sepatu yang baru datang, saat ini Devika tengah membantu sahabatnya tersebut menyusun sepatu-sepatu di raknya, sambil mencurahkan curhatnya. Atau lebih tepatnya luapan kesedihan perasaannya.

Cindy, seperti sahabat paik pada umumnya, mendengarkan dengan tenang tanpa menghakimi. Sesekali menimpali jika dirasa penting. Cindy memperhatikan wajah Devika yang tidak bersemangat, sedikit banyak memahami apa yang dirasakan perempuan itu. Karena mereka sama-sama perempuan. ''Dia memberitahumu jam berapa dia berangkat?" tanyanya.

Devika menggeleng, matanya menatap kosong pada sepasang sepatu warna ungu muda yang sedang dirapikannya. "Fabian cuma bilang berangkat sore, dia tidak mengatakan waktunya."

"Sudahlah, jangan terlalu berpikir buruk!" Cindy menyemangati sahabatnya tersebut. Meletakkan sepatu terakhir di raknya, Cindy duduk di sebelahnya kemudian berkata. "Kau mengkhawatirkan hal yang belum tentu terjadi. Mungkin saja yang dikatakannya bukan yang ada di kepalamu itu. Sebelum kau melihat dia benar-benar merayu perempuan lain sebaiknya kau berpikir positif saja." Sebenarnya Cindy sedikit kesal pada Fabian--setelah Devika menceritakan paginya yang buruk bersama Fabian-- tatkala pria itu mengacuhkan kegelisahan Devika. Menurutnya sangat wajar seorang wanita meminta apa yang diinginkan Devika itu ketika mereka telah tidur bersama. Jika sang pria masih mendekati perempuan lain, itu sama saja Fabian hanya menganggap Devika sebagai pemuas nafsunya. Tidak dianggap. Namun begitu, Cindy tidak bisa membuat Devika lebih terpuruk lagi dengan mengatakan semua itu. Karena Saat ini wajah Devika sudah tidak enak dilihat.

"Hanya itulah yang bisa kulakukan sekarang ini. Untuk mencegah aku menjadi gila dengan menangis terus menerus dengan selimut menutupi sekujur tubuh."

"Kau pasti sangat jelek kalau seperti itu," Cindy bergurau seraya terkekeh. "Ngomong-ngomong, apakah jadi aku menginap di rumahmu malam ini?" Ia bertanya, mengalihkan pembicaraan agar Devika tidak terus-menerus mengingat sikap dingin dan datar Fabian.

I Feel The Love (Playstore)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن