[a] Avoid

19.3K 1.2K 75
                                    

"Berhentilah bersikap menyebalkan, Kim Taehyung."

Satu kalimat bernada datar dari Jeon Jungkook, dan Taehyung langsung berhenti menyuapkan kue ke mulutnya. Kening berkerut, selagi pikiran bertanya-tanya kapankah kiranya ia bersikap menyebalkan. Seingat Taehyung, hari ini ia berpolah super manis. Ia menjemput Jungkook di tempat kerja seperti biasa, membelikan kue cokelat dengan topping buah-buahan favorit kekasihnya, serta meminjamkan mantel tebalnya pada Jungkook lantaran cuaca sudah makin dingin. Semua hal-hal romantis yang biasa dilakukan seorang lelaki pada pasangannya; sehingga Taehyung tak paham mengapa konklusi seperti itulah yang tahu-tahu ia dengar.

"Aku tidak menyukainya."

Belum sempat Taehyung berkata-kata, Jungkook sudah kembali berbicara. Pemuda itu tak lagi asyik memakan jatah kuenya, memilih untuk meletakkan garpu dan memandang datar ke arah jendela kafe. Ekspresinya tak tertebak, bukan seperti Jungkook yang biasanya akan emosi atau bersikap galak karena masalah sepele. Ada keseriusan yang tersemat di sana, dan bohong kalau Taehyung mengaku bahwa ia tidak bisa merasakannya.

"Apa yang..." Taehyung memutuskan untuk angkat bicara, ikut meletakkan garpunya sebelum melanjutkan, "Apa yang tidak kau sukai?"

"kau."

Singkat, namun Taehyung bisa merasakan punggungnya menegak dan seluruh tubuhnya membeku seperti cabang-cabang pohon di luar sana. Selama beberapa saat bergeming, tak sanggup untuk berkedip atau berkata-kata barang sedikit pun. Maniknya lamat-lamat menelisik sang pemuda, menyadari bahwa Jungkook kini tengah bersitatap dengannya dengan sorot mata kosong. Bukan sorot ceria atau berbinar, bukan pula kesedihan atau kekesalan. Iris itu hampa-sebuah pertanda buruk bagi Taehyung.

"Kenapa?"

Susah-payah Taehyung mengeluarkan satu kata itu, sementara Jungkook menarik napas dalam-dalam. Pemuda itu terlihat enggan menjelaskan, jemarinya sibuk menyisiri poni depannya yang sedikit berantakan. Tidak biasanya Jungkook menyisiri poni rambutnya yang biasa ia biarkan tertata dengan alami, berkebalikan dengan Taehyung yang menganggap kekasihnya lebih cantik seperti ini. Maka, tidak salah bukan jika tadinya Taehyung menganggap Jungkook sedang ingin menyenangkan hatinya? Mana ia tahu kalau semuanya akan menjadi seperti ini?

"Aku tidak suka," ulang Jungkook lagi, tatapnya tahu-tahu berubah tajam. "Sikap posesifmu itu, aku tidak suka. Kupikir, aku bebas bermain atau pergi bersama teman-temanku, benar?"

Ah.

Taehyung tidak bisa langsung menjawab, tidak karena ia tahu persis apa maksud Jungkook saat ini. Pernyataan barusan membuat Taehyung ingat akan kejadian tempo hari, saat ia mengajak Jungkook pergi untuk merayakan hari ulang tahun pemuda itu. Namun, Jungkook menolak. Berkata bahwa ia sibuk dengan kerja paruh waktunya, serta sudah terlanjur membuat janji dengan salah seorang kawan dekatnya semasa SMA.

Dan Taehyung kecewa karena itu.

Ia kesal, ia merasa bahwa dirinya memiliki hak untuk menghabiskan waktu dengan Jungkook setelah hampir seminggu tidak pergi berdua. Oh, Taehyung bahkan sampai membatalkan janji dengan kedua kawannya. Berharap agar Jungkook mau berbuat sama, namun kekecewaanlah yang ia dapat. Sebuah kecemburuan yang tidak masuk akal, tetapi Taehyung tak bisa menahan dirinya untuk tidak merasa demikian.

Apa salah jika ia berpikir begitu?

Saat ini, dihadapkan dengan mimik wajah Jungkook yang dingin, Taehyung tak bisa menjawab. Ia hanya bisa memanggil nama Jungkook perlahan, membiarkan otaknya bekerja menyusun kata sebelum ia berujar, "Aku minta maaf."

"Aku tidak butuh."

"Jeon Jungkook...."

"Maafmu tidak akan mengubah sikapmu,Hyung ," potong Jungkook cepat, kedua lengan tersilang di depan dada ketika ia melanjutkan, "Ini bukan hanya soal kemarin. Ini tentang segalanya."

Segalanya?

"Aku bukannya tidak senang, aku bersyukur tiap kali kamu ada di sana ketika aku butuh." Jungkook melanjutkan, tak acuh pada keterkejutan yang melintas di wajah Taehyung. "Tapi, bukan berarti aku menginginkan presensimu di tiap detiknya. Mendatangi tempat kerjaku, menungguku selesai kelas, sering menghabiskan waktu di rumahku..."

"Kook, aku-"

"...aku tidak butuh yang seperti itu."

Hening mengikuti ucapan itu, seraya Jungkook meraih garpu dan mulai memainkannya. Mungkin niatnya hendak berpura-pura bahwa pembicaraan barusan tidak pernah terjadi, yang tentu saja mustahil bagi Taehyung. Lelaki itu masih tak mampu berkata-kata, antara bingung dan takut jika dirinya malah memperunyam keadaan. Namun, di sisi lain, ia juga penasaran. Apa maksud Jungkook mengatakan semua ini jika bukan untuk mendapatkan maaf dari Taehyung? Mungkinkah pemuda itu....

Tidak.

Sedikit menggelengkan kepalanya, Taehyung berusaha menampik pemikiran itu kendati degup jantungnya tak mau berkompromi. Rasanya hampir mirip seperti ketika ia menyatakan perasaan pada Jungkook dulu, meskipun kini ada sesak dan cemas yang mengikuti. Seakan-akan ada yang tengah merampas isi hatinya secara paksa, tanpa persetujuan dan izin dari si pemilik.

Dan sialnya, rasa terpaksa itu tak kunjung hilang.

Tidak karena Taehyung baru saja membuka mulutnya lagi untuk berkata, "Kita sampai di sini saja."

"Apa?"

"Aku sudah lelah, Tae-hyung. Kita sampai di sini saja."

"Kookie, aku tidak bisa-"

"Aku tahu kalau ini egois, Tae," gumam Jungkook, seolah dengan demikian Taehyung mau menyetujui keputusannya. "Aku tahu, tapi bukan hubungan seperti ini yang aku inginkan. Aku...."

"Kaulebih memilih untuk sendiri dan bebas." Taehyung menyahut, merasakan manisnya kue yang ia makan tadi berubah seperti olok-olok. Lidahnya pahit untuk mengucapkan semua ini, namun-walau setengah terpaksa-kalimat tanya itu toh tetap ia utarakan. "Iya, 'kan?"

Sesaat, Jungkook hanya mengerjapkan kedua kelopaknya. Memberi satu jenak yang berisi harapan bagi Taehyung, harapan yang terlihat bagai gelembung sabun sebelum akhirnya pecah tak berbekas. Semu, lantaran alih-alih memberi tahu Taehyung bahwa yang tadi itu hanyalah sebuah candaan, tanggapan Jungkook adalah sebuah anggukan yang diiringi dengan perpisahan.

"Terima kasih sudah mengerti, Hyung."

Lantas, sang pemuda pun bangkit dan melangkah pergi. Tanpa frasa 'sampai jumpa lagi' seperti biasanya, meninggalkan jaket Taehyung yang tadi sempat tersampir di pundaknya pada kursi. Membiarkan sang pemilik untuk bertemankan kesendirian, tanpa seseorang untuk berbagi kisah dan tawa. Karena, berlawanan dengan ucapan terima kasih Jungkook, Taehyung sama sekali tidak mau mengakui bahwa semua ini telah berakhir. Jikalau bisa, ia masih ingin menggenggam dan merengkuh sisa-sisa kehangatan yang ada. Namun, sayangnya, Jungkook telah pergi membawa semua itu.

Oh, Taehyung benar-benar merasa seperti orang bodoh sekarang.

Ia bahkan tidak berpikir untuk mengejar pemudanya , pun berusaha memperbaiki kesalahan. Satu-satunya hal yang Taehyung lakukan saat ini adalah menyandarkan tubuh pada kursi tempatnya duduk, menulikan diri dari celotehan atau gumam percakapan bahagia yang merebak. Ia merasa kosong, terlebih ketika kedua irisnya menangkap salju pertama di tahun ini yang mulai meluruh turun. Kristal-kristal es yang menandakan betapa suhu telah turun begitu drastis, sama cepatnya dengan perubahan yang baru saja terjadi pada hidup Taehyung.

Well, Taehyung tidak menyangka kalau dirinya akan mengatakan ini tetapi....

.

.

.

...untuk pertama kalinya, ia paham mengapa patah hati itu identik dengan musim dingin.

.

fin.

Kadang, perlakuan posesif kayak gitu bakalan sweet pada suatu waktu, tapi kemudian bakal menemukan turning pointnya, emang. Tapi ya...yasudahlah..

menurut kalian yang salah disini siapa? :'

Livre de douleur | v.kTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon