Pieces

993 110 13
                                    

Kim Taehyung.

Kuembuskan lagi gulungan asap dari lubang hidung. Kali ini lebih halus ketimbang dua batang rokok pertama. Batang ketujuh ini lumayan nikmat, lantaran aku tak lagi tersedak.

Aku bukan pemula, perlu kutegaskan.

Sebungkus rokok bisa kusikat dalam sekali duduk. Itu dulu. Tentu sebelum Jungkook menggusariku panjang-pendek sampai kupikir mulutnya bakal berbusa. Tapi nyatanya, ia baik-baik saja. Pemuda itu juga pernah menjejaliku separuh bungkus batang tembakau dan menyulutnya bersamaan. Ouch, aku ingin muntah ketika mengingatnya. Ia memang menyebalkan.

Penakut? Tentu saja itu bukan aku.

Jungkook bukan pemegang kendali atas hidupku hingga aku harus menaruh harga diriku di kakinya. Si manis keranjingan itu tak lebih dari alarm kuno yang memekakkan ketika aku masih dibelai mimpi pagi hari. Tak jarang, seperti radio rusak yang terus saja mengoceh tentang hal-hal konyol yang disebutnya masa depan.

Meski begitu, Jungkook pernah menjadi beberapa alasan dalam hidupku. Dulu dan saat ini.

Aroma tembakau yang bergulung-gulung di depan hidungku membawa setumpuk memori tentang Jungkook. Ah, Kookie. Aku merindukannya lagi.

Senyuman Jungkook menari-nari di antara kepulan asap yang menipis. Jenis senyuman yang bahkan tak bisa dikategorikan manis, sama sekali. Ada yang berbeda dari cara Jungkook menarik ujung bibirnya sampai melengkung tinggi. Dan aku masih belum mengetahuinya. Mungkin tidak akan pernah tahu. Karena sebenarnya, tanpa tersenyumpun menurutku ia sangat manis.

Bayangan Jungkook perlahan mulai terberai ketika seorang pemuda mengibaskan sebelah tangannya mengusir asap rokokku. Garis-garis keberatan di wajahnya tidak bisa disembunyikan. Persis seperti pasangan tua di meja belakangku, kulirik dari sejam lalu terus saja mencibir pelan-pelan.

Masa bodoh. Selama pemilik kafe murahan ini tak menyeretku keluar, aku tak ambil pusing.

Pemuda tadi mendengus, setelah memutar kepalanya menyisiri seluruh kafe, dan menemukan tidak ada meja kosong. Jeda semenit sampai akhirnya pemuda tadi memutuskan untuk bergabung dengan mejaku. Sekilas kutilik mungkin seumuran denganku. Potongan rambutnya rapi, berkelir pekat dan mengilat berwarna brunette. Kaki pendeknya yang terbungkus jeans terlihat dari balik mantel panjang yang tak dikancingkan.

Pemuda ini menggeser kursinya, memandangku datar seolah meminta izin tetapi tidak jadi. Tatapannya tertuju lebih lama pada batang tembakau baru yang sedetik lalu kunyalakan dengan pemantik.

Oh baiklah, mungkin ini waktuku untuk memungkasi aksi membakar gulungan tembakau bercampur kenangan Jungkook. Piring sarapanku bahkan sudah lama disingkirkan seorang pelayan tua. Dan menawariku secangkir kopi, lagi.

"Perjalanan bisnis?"

Pemuda ini memandang kopor besar di sebelah kursiku, lantas menaruh fokus pada mataku sedikit lebih lama ketimbang sebelumnya. Aku balik memandangnya, dan menarik ujung bibirku guna membalas rasa ingin tahunya.

Rampung memesan secangkir kopi tanpa gula, pemuda ini membentangkan lipatan korannya. Belum mencapai satu detik, dengusan kasar terdengar dari mulut pemuda ini yang tak terlihat. "Ada apa dengan orang-orang belakangan ini?"

Tidak berusaha menimpali, aku hanya memerhatikannya melipat ulang lembaran koran.

"Kriminalitas rasanya sedang naik daun, dan jadwal lembur sudah menunggu di depan mata seminggu kedepan."

"Seorang polisi?" tanyaku padanya, sesedikit mungkin menunjukkan ketertarikan. Aku tidak ingin ia salah paham, hanya mencoba menghadirkan aksi dua arah yang baik tidak ada salahnya.

Livre de douleur | v.kWhere stories live. Discover now