“Ingin rasanya gue bunuh lo sekarang, sialan.” Jasmine mendengus kasar.

“Salty banget lo.” Hujan melempar gulungan tisu bekas diatas meja ke wajah Jasmine.

“Brengsek. Mati lo sana!” Jasmine berseru kesal. “Hmpft! Nyebelin banget lo kayak pembalap baru.”

“Pembalap baru? Siapa?” tanya Hujan membuat tampang Jasmine semakin kusut.

“Rose,” jawab Jasmine singkat. “Belagu amat. Semalam dia nantangin gue balapan dan menang. Sekarang gue harus traktir dia makan dan belanja,” lanjut Jasmine curcol.

Hujan tersentak. “Lo dikalahin anak baru?!” setelah itu tawa meledak dan wajah Jasmine lebih kusut lagi melihat kepuasan dari tawa Hujan. “Harga diri seorang Mimi sudah hancur. Udah, bakar saja mobil lo sekarang.”

Jasmine baru saja akan membalas ucapan Hujan namun dering ponsel membuatnya memilih bungkam dan menerima panggilan yang ternyata dari Rose. Jasmine menghela nafas panjang sebelum mengangkat panggilan itu dan melangkah pergi meninggalkan Hujan dan Lily. Bisa mereka berdua lihat Jasmine mencak-mencak meladeni panggilan itu.

Lily melirik lengan Hujan yang mendekapnya hangat lalu beralih pada sebuket Lili putih yang terletak diatas meja. Senyum bahagianya merekah dalam keheningan. Lily maupun Hujan sama-sama menikmati detik demi detik yang berlalu. Untuk sekarang, tidak ada kebahagiaan yang mereka inginkan lagi. Ini saja cukup.

***

LILY’s POV

Hampir setahun semua ini berlalu dan banyak sekali yang telah terjadi. Ini adalah tahun yang tidak biasa untukku maupun mereka.

Aku sudah sepenuhnya menerima Jasmine, Anggi, dan Lia sebagai temanku. Yah, meski kadang aku lebih suka mengasingkan diri daripada menghadapi kebodohan Lia yang suka kumat. Tak hanya itu, Jasmine yang dari awal sudah menyebalkan pun semakin menyebalkan karena selalu curhat tentang gangguan dari gadis bernama Rose yang katanya sangat mengganggu hidupnya. Sepertinya Anggi saja yang ‘normal’ diantara mereka berdua.

“Gue dan segenap hampir semua warga sekolah merasa patah hati dengan keputusan Kak Hujan.” Anggi menjatuhkan kepalanya diatas meja kantin dengan lesu. Matanya menatapku dengan sengit. “Banyak haters lo karena menjadi pasangan Kak Hujan di Prom minggu depan. Gue salah satunya.”

Aku memutar bola mata dengan bosan. Anggi tidak senormal yang kukira ternyata. Mereka bertiga sama saja. Apa sih dosa yang kuperbuat sampai dikelilingi manusia-manusia seperti mereka?

“Gue mau pensiun balapan kalo gini caranya.” Jasmine memasang wajah suram nan menyedihkan. “Tuh cewek beneran deh parasitnya.”

“Siapa, Min?” Lia bertanya polos.

“Siapa lagi yang paling laknat di dunia ini selain Rose, hah?!” Jasmine membanting dompetnya ke meja dengan frustasi. “Gak cuma duit, tapi tenaga dan waktu gue pun terbuang. Scumbag satu itu memang gak ada duanya!”

“Oooh ….” Lia mengangguk antara paham dan tidak. Aku suka heran, kemana Lia yang dulu beraksi oh-so-intellegent? Apa kemarin-kemarin roh pintar tengah merasukinya dan sekarang sudah bosan sehingga meninggalkan dirinya bersama kebodohan lagi? Sayang sekali.

Mengabaikan mereka bertiga, aku mengecek ponselku dan ada notifikasi chat yang masuk dari Kak Hujan. Aku membuka notifikasi tersebut dengan senyum kecil. Isinya adalah ajakan Kak Hujan untuk mengunjungi Nyonya Dwita hari ini.

Keadaan Nyonya Dwita semakin membaik. Beliau hampir dinyatakan sembuh dari penyakitnya. Keluarga Markab pun menjadi keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang. Tentu saja aku senang dengan hal tersebut. Kak Mira dan Ayah juga terkadang menjenguk Nyonya Dwita dan tidak butuh waktu lama buat Kak Mira akrab dengan beliau.

PainHealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang