Love-lies-bleeding

2.5K 195 7
                                    

Love-lies-bleeding memiliki arti putus asa. Perpisahan akan selalu menjadi bagian dari perjalanan, begitu pula dengan rasa putus asa yang cepat atau lambat akan menyapa sebuah harapan yang besar. Bagaimanapun, menyerah telah menjadi bagian dari kehidupan.

***

AUTHOR’s POV

“Gimana?” tanya Miranda kepada Oliver yang menuruni tangga. Melihat Oliver yang menghela nafas lelah membuat Miranda mengacak-acak rambutnya geregetan. “Lily udah ngurung diri selama 2 hari. Kalau ada apa-apa gimana?”

“Bagaimana lagi? Kita diamuk sama dia. Rion saja sampai pingsan dipukuli Lily pakai pemukul baseball kemarin.” Oliver meringis sambil memegangi kepalanya, ngilu membayangkan kepala Rion yang dipukuli semalam. “Aku sih gak mau bernasib kayak Rion.”

“Kamu nih gimana sih, Ver!” bentak Miranda lalu mendengus kasar. “Kukira kamu bakal berani. Soalnya aku juga gak mau kayak Rion nanti,” gumam Miranda dibalas gelengan pelan dari Oliver. “Hhhhh … tapi, Lily belakangan ini memang terlihat tertekan. Aku khawatir dengan keadaannya,” lanjut Miranda.

“Aku baru ingat kemarin lusa ada temennya Lily datang kemari,” ucap Oliver mendapati pelototan Miranda. “Sorry Miranda, aku juga baru ingat.”

“Temennya yang mana?”

“Kurang tahu sih. Aku baru pertama kali lihat. Pokoknya cewek, rambutnya sebahu, kulitnya putih, dan wajahnya agak murung gimana gitu tapi lumayan cantik,” jelas Oliver. Oliver menaikkan sebelah alisnya ketika Miranda menjentikkan jarinya. “Kenapa? Kamu tahu, Miranda?”

“Gadis itu pernah kemari sekali. Gak salah lagi itu salah satu teman Lily di sekolah,” jawab Miranda tiba-tiba menjadi semangat. “Aku ke sekolah Lily sekarang.”

“Aku ambil kunci─”

“Gak usah,” potong Miranda. “Kamu nanti telat ke Bandara. Udah gak apa-apa.” Miranda menjinjit sedikit untuk mencium pipi Oliver. “Hati-hati, ya. Titip salam untuk Goldie dan Farhan disana.”

Oliver mengacak ringan rambut Miranda. “Kamu juga hati-hati, ya.”

***

Keadaan Lily sangatlah kacau. Wajah tanpa ekspresi, mata bengkak, lingkaran hitam di sekitar mata, dan bibir yang pucat membuatnya terlihat menyedihkan. Belum lagi keadaan kamar yang berantakan menambah kekacauan suasana kamar besar itu.

Lily menekuk dua kakinya lalu menenggelamkan kepalanya diantara dua lututnya. Samar-samar terdengar suara tangisan yang entah keberapa kali memenuhi kamar itu. Setelah itu, tak lama kemudian terdengar suara tawa yang parau menggantikan tangisan. Begitu terus hingga suara teriakkan tertahan menggema menyakitkan hati.

Lily menjambak rambutnya sendiri. “Aku … benar-benar menyerah,” ucap Lily dengan suara yang getir dan tangisan kembali terdengar.

***

Suasana kelas begitu tenang, Lia fokus mencatat materi pelajaran yang ada di papan tulis sedangkan Anggi disebelahnya diam-diam membaca novel. Jasmine sendiri dibelakang mereka menyumpal kedua telinganya dengan earphone. Bu Guru yang menjelaskan di depan kelas pun seakan tidak peduli anak muridnya yang kebanyakan tidak memperhatikan pelajarannya.

“Permisi, Bu, maaf mengganggu sebentar,” ucap seorang siswi setelah mengetuk pintu kelas yang terbuka lebar itu beberapa kali. “Apa Magnolia ada?”

“Guenya ada. Kenapa?” tanya Lia dari tempatnya.

“Itu lo dipanggil sama Pak Erick. Disuruh keruangannya sekarang. Penting katanya,” jawab siswi itu. Selanjutnya siswi itu mengangguk sedikit sembari tersenyum sopan kepada guru yang mengajar. “Saya permisi dulu, Bu. Maaf mengganggu waktu mengajarnya.”

PainHealerOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz