Daffodil

2.4K 152 14
                                    

Daffodil memiliki arti cinta bertepuk sebelah tangan. Seperti senja yang merindukan secangkir teh yang tak pernah diseduh. Seperti mentari yang mendambakan sebuah kota yang tak memiliki pagi. Atau, seperti sebatang pohon yang menantikan nyanyian seekor burung kecil yang bisu. Memang ada banyak hal yang tidak mendapat balasan yang diharapkan.

***

AUTHOR’s POV

“Akhirnya UTS selesai!!!” Lia bersorak bahagia. Rasanya semua bebannya seminggu penuh hilang sudah. “Kita makan di─loh, Nggi mau kemana? Buru-buru banget?”

“Rumah sakit.” Anggi pun berlari menyusuri koridor sekolah yang masih ramai oleh siswa-siswi yang baru selesai Ulangan Tengah Semester.

“Sibuk banget si Anggi ke Rumah sakit mulu.” Jasmine mendesah pelan. “Dia sakit apa sih? Atau ada sanak keluarganya yang sakit? Perasaan beberapa hari yang lalu gue kerumahnya semua anggota keluarganya baik-baik saja.”

“Entahlah.” Lia mengendikan bahu acuh tak acuh. “Ayo, kita makan ke tempat biasa.”

“Lily tidak ikut.”

“Kenapa?” tanya Jasmine dan Lia bersamaan.

“Lily bosan makan. Udah ya, bye!!” Lily pun berlari ke arah yang sama dengan yang Anggi lewati.

“Bosan makan?” Lia membeo dengan wajah tak percaya yang luar biasa. “ALASAN MACAM APA ITU?!! GAK ADA MANUSIA YANG BOSAN MAKAN!!!”

“Yaudahlah kita berdua aja lagi.” Jasmine pun menarik tangan Lia yang masih terlihat tidak terima dengan alasan bosan makan.

***

Lily berhasil menyusul Anggi dan disinilah mereka berdua sekarang, di mobil Anggi dalam perjalanan menuju Rumah Sakit tempat Kala di rawat.

“Keadaan Kala semakin kesini semakin buruk.” Anggi membelokkan mobil ke sebuah Rumah Sakit ternama di Kota itu. “Tidak ada kemajuan.”

“Lily tidak bertanya,” sahut Lily datar dan dingin. Ada perasaan sesak menyelimuti gadis itu saat mendengar keadaan Kala yang katanya tidak baik. Pikiran-pikiran negatif mulai memenuhi kepalanya.

“Ini bukan salah lo.” Anggi melepas seat belt lalu menoleh untuk menatap Lily yang berekspresi keras. “Kehadiran lo memberinya semangat. Gue terima kasih banget sama─”

“Tapi tidak ada kemajuan, ‘kan? Lantas apa gunanya semangat itu?” Lily tanpa sadar meneteskan setitik air mata. “Semua akan bernilai kalau dia sembuh, Nggi. Mau dia sesemangat apapun buat sembuh, kalau tidak ada perubahan apa gunanya?!”

Anggi tertawa miris. Lalu memasang wajah datar dan dengan cepat menampar pipi Lily. Tidak kuat tapi tetap saja rasanya sakit. “Kalo ngomong pake perasaan sedikit. Oke?” Lalu Anggi keluar dari mobil. Meninggalkan Lily yang terkejut sambil memegangi pipinya yang terkena tamparan.

Lily sedikit kesulitan mengejar langkah Anggi yang tergesa-gesa. Hingga semakin dekat dengan ruangan Kala, Lily tidak lagi memedulikan Anggi yang sudah berjalan cukup jauh. Tiba-tiba Lily menjadi ragu. Sudah seminggu bahkan lebih dia tidak menjenguk Kala sejak hari ia diberi momentum untuk mengatakan sesuatu yang begitu membangun semangat lelaki itu untuk sembuh. Semangat besar pertama dalam hidup Kala.

“… Apa ini benar?” Lily bergumam pelan. Dengan lemah terduduk di kursi tunggu yang disediakan di koridor Rumah Sakit. Perasaan yang sama seperti dulu kembali; Rasa tidak berguna dan hanya menjadi parasit. Rasa akan membenci dirinya sendiri.

Terlalu sibuk dengan pikirannya, Lily tidak sadar seorang wanita menghampirinya. Wanita cantik dengan seragam kerjanya yang kasual. Wanita itu adalah Ibunya Kala.

PainHealerOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz