Devika melempar isolatip ke arah Cindy. "Dasar!! Mau pesta tapi tidak bermodal."

Cindy tertawa. "Kan lumayan, Dev."

"Semoga saja dia bisa datang!'' gumam Devika. Akhir-akhir ini Fabian terlihat lebih sibuk, mereka jadi jarang punya waktu untuk berbicara. Satu-satunya waktu yang mereka miliki untuk bersama adalah ketika tidur. Fabian yang biasanya mengajaknya bercinta bisa sampai tiga kali dalam sehari, sekarang hanya sekali. Itu pun ada saat pria itu tak mau menyentuhnya.

"Kok gitu?" Cindy telah selesai menulis nama semua tamu yang akan diundangnya, ia menumpuk semua kertas undangan yang telah berplastik tersebut menjadi satu. Siang ini rencananya akan dikirim.

"Dia sibuk terus."

"Tapi kamu sudah bilang, kan."

"Sudah. Fabian bilang dia akan datang, tapi kita kan tidak tahu, bisa saja tiba-tiba ada pekerjaannya yang mendesak."

"Iya, sih! Tapi kau rayu dong dia supaya tetap mau datang. Pestaku pasti bakalan rame kalau Fabian ikut, please."

"Tapi aku tidak janji, ya."

"Yah, masa gitu." Cindy berubah lesu. Ia sangat berharap Fabian bisa datang ke pesta ulang tahunnya. Bukan, bukan karena ia tertarik pada pria tersebut. Ia sendiri berharap hubungan Devika dan Fabian berjalan lancar. Tapi karena ia pernah mendengar kalau laki-laki itu termasuk orang yang royal. Siapa tahu Fabian mau memberinya kado beruba amplob tebal, siapa yang tahan menolak? Untuk pestanya sendiri cukup menguras dompet, sumbangan beberapa rupiah pasti akan membantu.

Cindy dan sifat materialistisnya.

****

Saat ini Devika dan Cindy sedang tiduran di kamar Cindy dengan potongan timun di kedua mata. Dua puluh menit yang lalu mereka selesai mengirim undangan. Hanya ada beberapa orang yang tidak diketahui alamatnya yang baru. Mereka terpaksa menitipkan undangan tersebut kepada teman yang lain-- yang tahu alamat tepatnya.

Hari sudah sore, tepatnya pukul empat. Lelah berkeliling kota Jakarta, mereka mengistirahatkan diri. Sebelum nanti Devika pulang ke apartemen Fabian, lagi-lagi ia harus berbohong pada ayahnya. Kapan-kapan, ia akan mencari saat yang tepat untuk membicarakan hal itu pada Fabian. Bagaimana pun, bila ia terus berbohong banyak urusan atau menginap di rumah Cindy, lama-lama ayahnya akan curiga.

"Dev."

"Hhhmm?"

"Kenapa kau belum memutuskan akan bekerja di perusahaan Fabian atau tidak?"

"Aku masih bingung, Cin." Pikiran Devika menerawang. Sampai sekarang ia belum memberi keputusan, karena masih ragu.

"Bingung kenapa?"

"Entahlah," ia menghela napas.

Kamar menjadi hening, hanya terdengar bunyi helaan napas keduanya.

"Dev?" Cindy kembali bersuara.

''Hhmm?"

"Kau... beneran tidur sama Fabian?"

Devika cukup terkejut dengan pertanyaan sahabatnya barusan. Selama ini Devika menyadari bahwa Cindy tahu kalau ia tidur dengan Fabian. Cindy tidak pernah membahasnya, tapi kenapa sekarang tiba-tiba...

"Kapan terakhir kali?" Kejar Cindy tatkala bibir Devika tetap bungkam. "Dev---"

''Tadi malam," jawab Devika pelan, tiba-tiba menjadi malu.

"Kalian melakukannya setiap malam?" Ada kilas terkejut dalam nada suara Cindy.

"Kau apa-apaan sih, nanya-nanya itu?" Devika bersemu merah, potongan timun tadi tak lagi menutupi matanya. Sudah terlempar entah ke mana. Sama halnya dengan Cindy.

I Feel The Love (Playstore)Where stories live. Discover now