Cindy mengangkat bahunya lalu berkata. ''Yah, pacaran sama cowok biasa-biasa itu lebih tenang, Dev. Tidak dipandang rendah, tak takut diselingkuhin, tidak takut ditinggalin."

"Cowok sederhana juga sering main belakang, bukan tergantung itu juga." Kataku, mencoba tidak khawatir dengan apa yang dikatakan Cindy barusan. Karena memang apa yang dia bilang ada benarnya. Fabian punya segalanya. Dia tampan, kaya raya. Nah, aku? Cantik, masih banyak yang lebih cantik. Harta, aku tidak punya. Malah utang yang banyak, maksudku utang ayahku. Tapi itu termasuk bebanku juga, kan? Sekolah pun rata-rata. Lalu apa yang membuat Fabian akan memandangku lebih di antara perempuan-perempuan cantik di luar sana?

"Pernah dengar tidak perkataan yang seperti ini? perempuan itu diuji saat tidak punya apa-apa dan pria itu diuji saat punya segalanya? Fabian itu kan mapan kelewatan, kau tidak takut dia main sama cewek lain di belakangmu?"

Aku menghela napas pasrah. "Yah, Kau jangan mendoakan dia begitulah."

***

"Kau pulang sama aku atau bagaimana?" Cindy sudah selesai menutup tokonya. Saat ini kami sedang berjalan menuju parkiran. Satu harian ini aku hanya menemani Cindy di toko, nasib pengangguran yah seperti ini. Bingung mau ngapain.

Fabian belum ada menghubungiku, aku jadi tidak tahu harus pulang ke mana. Apakah ke Apartemennya atau ke rumahku.

"Aku ikut denganmu saja, Cin." Lebih baik aku pulang ke rumah saja. Kalau nanti Fabian menelepon, aku bisa naik taxi ke apartemennya. Itu lebih baik daripada aku ke apartemennya tapi malah dia tidak ada di sana.

Baru saja aku akan membuka pintu mobil Cindy, ponselku berdering. "Bentar, bentar, Cin!" Aku bergumam menyuruh Cindy menunggu. Membuka tas, aku mengeluarkan ponsel.

"Siapa?" tanya Cindy.

"Fabian!" Aku menjawab Cindy lalu mengucapkan salam pada Fabian.

"Halo."

"...."

"Ini lagi mau pulang dari toko Cindy."

"...."

"Kau mau jemput?"

"...."

"Oh, aku di parkiran."

"...."

"Iya,."

"...."

''Hhhmm." Aku menutup telepon.

"Apa katanya?" Devika tak menutupi raut penasaran di mukanya yang bulat itu.

"Aku tidak jadi pulang denganmu, Cin. Katanya Fabian sudah di jalan mau ke sini. Aku dengan dia aja."

"Kalian mau kencan, ya?" Cindy mencolek bahuku, bercanda. "Jangan mau diajak ke tempat gelap-gelap! Nanti diapa-apain tidak bisa kabur."

Aku hanya tertawa membalas ucapannya. Dia tidak tahu sudah sejauh mana hubunganku dengan Fabian, tapi itu lebih baik untuk saat ini. Mungkin suatu saat, aku pasti menceritakan padanya semua yang saat ini kututup-tutupi darinya.

"Aku menunggu kau dijemput atau aku sudah boleh pergi sekarang?" Cindy tersenyum mengejek, matanya mengerling-ngerling. "Tak sedap juga nengokin orang kasmaran padahal diri ini masih sendiri." Dia terkekeh.

"Kalau kau mau pergi sekarang, ya sudah. Bentar lagi sepertinya dia sampai."

"Ok. Aku duluan ya! Hati-hati dengan playboy seperti Fabian. Aku pernah baca beritanya di internet, dia tidak susah-susah meninggalkan cewek kalau sudah bosan. Padahal si cewek sudah cinta mati sama dia. Aku tidak ingin kau jadi nomor kesekiannya."

I Feel The Love (Playstore)Where stories live. Discover now