Fabian tampak terkejut mendengar kesinisan pada suara Devika. ''Tentu saja lewat pintu! Aku bukan manusia laba-laba yang bisa memanjat."

''Aku mengunci pintunya, tidak mungkin kau bisa masuk."

''Tentu saja aku bisa kalau punya kuncinya."

Devika menghentak-hentak kakinya di lantai, meradang dengan ketidakberdayaannya melawan pria itu. Apa yang tidak bisa dimiliki Fabian? jika pria itu ingin maka ia akan mendapatkannya. Dan Devika tidak suka itu. Ia ingin Fabian merasakan sakitnya tidak bisa memiliki, seperti yang dirasakannya saat ini.

"Keluar!!" Desis Devika.

"Aku punya hak berada di sini?" Ujar Fabian. Tidak mengenal kalimat lembut, ia terbiasa dengan caranya sendiri. Tak ada seorang pun yang bisa membantah apa yang ingin ia lakukan. "Aku ingatkan kalau kau lupa."

"Tidak!! Ini kamarku, kau tidak punya hak di sini."

Fabian meletakkan dengan tenang ponsel Devika yang telah menyala di meja sampingnya, tatapannya tak pernah meninggalkan wajah Devika yang saat ini telah berubah merah.

Pemandangan Devika saat ini benar-benar seksi menurutnya. Perempuan itu hanya mengenakan gaun tidur putih yang panjangnya sejenggal di atas lutut. Rambutnya yang panjang terurai berantakan namun terlihat cocok dengan tubuh putihnya yang mungil. Wajah Devika yang marah tak mengurangi kejelitaan perempuan itu. Devika benar-benar cantik saat marah seperti ini.

Ternyata bukan waktu telentang saja dia cantik, pikir Fabian dengan otaknya yang mesum. Saat berapi-api amarah pun dia keliahatan mempesona.

Fabian tersenyum, tanpa sadar ia menjilat bibir bawahnya. Bayangan tubuh telanjang Devika sudah menari-nari di kepalanya. Tapi ia harus bisa menahannya saat ini. Tidak baik mendesak singa yang sedang murka. Bukannya kenikmatan yang akan ia dapat melainkan gigitan dan cakaran kuku yang tajam yang akan diperolehnya.

"Masih tengah malam," Fabian memilih kalah. "Aku masih mengantuk, aku akan melanjutkan tidurku. Sebaiknya kau juga." Fabian menarik selimut hingga pinggangnya, mengajak Devika untuk ikut berbaring dengannya lewat tatapan matanya yang abu-abu gelap.

''Kau benar-benar brengsek, Fabian." Devika melotot sampai matanya yang mulai merah melebar sangat besar.

"Lima detik lagi kau tidak meredakan amarahmu, aku yakin taringmu akan keluar." Fabian bergurau. Ia tahu saat ini Devika sedang marah padanya, dan dirinya tahu apa penyebab amarah tersebut. Tapi seperti biasa, ia sulit mengucapkan kata maaf. Terlalu berkuasa hingga menjadikannya pria tak punya sisi lembut. Padahal kadang-kadang, tanpa disadarinya sisi yang jarang diperlihatkannya itu bisa keluar bila melihat orang yang ia sayang menangis.

"Baiklah! Kalau kau tidak mau keluar dari kamar ini biar aku yang keluar." Devika membalikkan badan, ia berjalan cepat hendak membuka pintu namun batal ketika mendengar suara keras Fabian.

"Satu langkah kau keluar dari pintu itu, kau akan menyesal." 

Devika tidak jadi membuka pintu. Tubuhnya bergetar karena amarah dan rasa sakit. Matanya menjadi panas dan hatinya sesak.

Tanpa mempedulikan apa pun ia kembali, ia naik ketempat tidur dalam diam. Hanya saja air mata mengalir dari sudut matanya dan jatuh di pipi. "Lakukan apa pun yang kau mau," gumamnya sedikit terisak, ia tidur memunggungi Fabian. "Kalau kau ingin meniduriku, katakan! Aku akan membuka bajuku---"

"Diam!" Fabian bergumam datar. Pria itu memeluk perut Devika sehingga membuat perempuan itu terkejut. Tubuh Devika berubah kaku dalam pelukan Fabian. "Tidur. Hanya itu yang kuinginkan sekarang. Kau bisa menyudahi kecengenganmu itu sekarang, aku pusing terus mendengarnya."

I Feel The Love (Playstore)Where stories live. Discover now