"Kau mau kemana?" tanya Devika khawatir saat tiba-tiba Fabian menarik diri dan menjauh darinya. Pria itu keluar dari kamar dengan bantingan pintu yang cukup keras.

Devika terdiam menatap kepergian pria itu. Sudah satu bulan mereka bersama, belum pernah Fabian bermimpi seperti tadi. Baru malam ini.

Menunggu beberapa menit, Devika berharap Fabian masuk kembali ke dalam kamar. Ketika Fabian tidak datang-datang juga, Devika memutuskan untuk mencari Fabian.

Mengencangkan tali jubah tidurnya, Devika berjalan menyusuri apartemen untuk mencari Fabian. Pria itu sedang berbaring di atas sofa besar di ruang tv dengan tv yang tidak menyala.

Devika naik dengan pelan di samping Fabian, ia memeluk perut Fabian yang telanjang. ''Kau baik-baik saja?" Bisiknya pelan.

Fabian bergumam tidak jelas sebagai jawaban untuk pertanyaan Devika. Pria itu menutup mata dengan bahu tangannya.

"Mau kubuatkan sesuatu?" Devika kembali bertanya lembut.

Fabian diam lagi. Merasa dirinya tidak dibutuhkan, Devika hendak pergi namun segera Fabian memegang sikunya.

"Jangan pergi!" Larangnya, masih dengan menutup mata.

Devika kembali berbaring, tapi kali ini bukan ia yang memeluk, melainkan Fabian. Pria itu melingkarkan lengannya di pinggang Devika, hidungnya menghirup aroma harum di kulit leher perempuan itu.

Devika mengusap tangan Fabian yang berada di perutnya seraya berujar. "Mau cerita?"

"Tidak. Aku tidak bisa." Fabian semakin menenggelamkan kepalanya ke dalam leher Devika. Bayangan darah yang menyelimuti tubuh ibunya tak bisa lepas dari bayang-baysng ingatannya, membuatnya gemetar dan semakin erat memeluk tubuh Devika.

Devika pernah mendengar bahwa seseorang bisa bermimpi sangat buruk, sampai-sampai membuat ketakutan. Itu dilatarbelakangki oleh trauma masa lalu. Kalau begitu apakah Fabian punya masa lalu yang mengerikan? Batinnya bertanya-tanya resah.

Devika ragu Fabian mau menceritakan apa pun yang menimpa pria itu. Sikap tertutup lelaki itu selama ini cukup menjawab bagaimana Fabian tidak mau orang lain mengetahui masalahnya. Tapi Devika ingin Fabian terbuka dengannya, membagi beban pria itu padanya. Perlahan, Devika ingin mereka saling berbagi. Itulah niatnya, tapi ia akan melakukannya dengan bertahap. Sejauh ini, Fabian cukup bisa ia tangani.

Fabian pria yang kuat, tegas, dingin dan seolah tak tersentuh dari luar. Tapi tidak ada yang tahu apa yang telah terjadi padanya di masa lalu. Apa yang menjadikannya keras seperti sekarang ini. Bahkan ibu angkatnya hanya tahu sedikit saja tentang masa terburuk itu. Ia merasa saat-saat itu begitu buruk, sampai-sampai tak ingin orang lain tahu seberapa buruknya itu. Cukup ia sendiri yang merasakannya.

"Kau sudah selesai halangan?" Pertanyaan tiba-tiba Fabian menyadarkan Devika dari rasa cemasnya terhadap pria itu. Beberapa hari belakangan memang jadwal bulanannya, tapi tadi pagi sudah selesai.

Devika mendongakkan kepalanya dan memandang Fabian. "Kenapa? Kau pengin?"

Fabian mengangguk. "Kalau kau tidak keberatan." Satu lagi yang telah berubah dari Fabian, sekarang lelaki itu tidak lagi memaksa jika ingin berhubungan intim. Devika berhak menolak bila perempuan itu sedang lelah. Kedekatan mereka selama satu bulan ini telah merekatkan hubungan mereka. Kesabaran Devika dalam menghadapi sikap kasar dan ketus Fabian telah melembutkan sisi lain dari Fabian. Yah, walau kadang-kadang pria itu masih berbicara ketus padanya. Itu terjadi jika Fabian sedang ada masalah pada perusahaannya. Tapi itu sudah jarang sekali terjadi, akhir-akhir ini Fabian malah lebih terlihat seperti kekasih yang tengah kasmaran. Tidak bisa lama-lama tidak menyentuh Devika.

Devika menaikkan kepala dan mencium bibir Fabian sebagai jawaban. Secepat kilat ciuman itu bersambut. Fabian langsung menindih tubuh Devika dan mencium bibir mungil milik perempuan itu.

Devika mengalungkan kedua lengannya di leher Fabian dan membalas lumatan bibir laki-laki tersebut. Matanya terpejam meresapi rasa nikmat dari kuluman bibir Fabian. Pria itu memasukkan lidahnya dan dan mencecap rasa manis pada mulut Devika.

Tanpa sadar, bibir Devika mengeluarkan suara erangan. Fabian tambah bergairah mendengar lenguhan Devika. Ciuman pria itu merambat ke leher wanita tersebut, mencium sekaligus menjilat. Sekali lagi Devika mengerang. Ia memiringkan kepalanya agar Fabian lebih bebas menciumi lehernya. Satu tangan Devika turun meraba punggung telanjang Fabian, punggung itu sedikit basah akibat aktifitas mereka yang panas.

Beberapa saat kemudian tubuh mereka tak lagi terbalut sehelai benang pun. Sofa tempat mereka saling menindih terasa semakin sempit rasanya, tapi Fabian enggan berpindah barang sedikit pun. Begitu pula dengan Devika.

Keduanya bercumbu dengan manis. Lenguhan nyaring lolos dari bibir Devika tatkala Fabian menenggelamkan dirinya di dalam pusat gairahnya. Fabian membungkam bibir Devika, dan menghunjamkan miliknya maju-mundur.

Devika menyambut setiap tusukan Fabian dengan desahan dan erangan. Hingga kemudian ia mendapat puncak kenikmatannya. Fabian menyusul beberapa saat kemudian, bibirnya berteriak memanggil Devika ketika ia mendapat orgasmenya.

***

Napas keduanya mulai beratur dan normal. Tapi Fabian masih berada di atas Devika. Pria itu mencium kening Devika seraya bersuara. "Terimakasih."

Baru kali ini Fabian mengucapkan terima kasih setelah mereka berhubungan intim. Devika sempat terpaku sejenak, karena Fabian yang lembut seperti ini belum pernah dilihatnya.

Apa mungkin mimpi buruknya tadi yang membuat Fabian seperti itu? Devika jadi semakin ingin tahu tentang apa mimpi Fabian tersebut.

Devika tersenyum, membalas senyuman Fabian. Ia berharap Fabian terus seperti ini, jangan ketus-ketus lagi. Jangan kasar-kasar lagi. Tapi konsekuensinya, Devika semakin dalam perasaannya pada Fabian. Ia semakin cinta pada pria itu.

Fabian berguling dari atas tubuh Devika. Menarik selimut menutupi tubuhnya dan Devika, Fabian kemudian memeluk perempuan itu dengan erat.

"Sudah lebih baik?" Devika melirik wajah Fabian, mencari tahu suasana hati laki-laki itu.

"Hhhmm," Fabian bergumam. Perkataan pria itu berikutnya membuat Devika membeku. "Terimakasi, sayang."

Devika melirik Fabian cepat, namun Fabian sudah tertidur. Devika tidak yakin dengan apa yang didengarnya. Sayang? apakah benar pria itu memanggilnya seperti itu?

Sampai lelah dan matanya terpejam, Devika masih tidak menemukan alasan yang tepat untuk panggilan sayang Fabian padanya.

Tbc...

I Feel The Love (Playstore)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ