21. Kilas Balik (I)

1.1K 276 49
                                    

Satu tahun yang lalu.

Euna benci keramaian. Benci ketika harus pura-pura bersosialisasi. Beramah tamah dengan seseorang yang kapan saja bisa berbalik mengkhianati. Contohnya malam keakraban.

Demi Tuhan! Mahasiswa fakultas teknik itu satu angkatan saja bisa hampir lima ratus lebih, belum lagi ditambah senior yang menjadi panitia. Apanya yang keakraban di dalam lautan manusia begini?

Euna datang karena ini wajib bagi mahasiswa baru alias maba. Dia tidak ingin membuat masalah dan tidak ingin menjadi pusat perhatian karena melanggar. Jadi dia berusaha tidak terlihat dengan menjadi anak baik yang tidak neko-nekok.

Kehebohan terjadi saat Euna sedang makan bingsu kacang merah di salah satu stand. Sendiri.

"Dia tiba-tiba jatuh!" pekik seseorang panik sampai Euna bisa mendengarnya.

Ah, paling ada yang pingsan di tengah keramaian. Euna sudah berniat pergi menjauh namun ia mendengar kata selanjutnya.

"Dia nggak napas!"

"Denyutnya juga nggak ada!"

Langkah Euna tertahan, tercabik antara ingin menolong atau kabur.

"Ambulans?"

"Otw dalam 5 menit."

"Yauda tunggu aja."

"GILA!! LO NYURUH GUE NUNGGU!! DIA SEPUPU GUE!! GUE NGGAK MAU DIA MATI!!"

Sepupu ...?

Ah, Euna mengerti rasanya hopeless tak bisa melakukan apa-apa. Bayang-bayang Eomma yang terbaring di lantai sedangkan dirinya yang masih berusia lima belas tahun tidak bisa melakukan apa-apa membanjiri memori.

Tanpa Euna sadari, ia sudah berlari menerobos kerumunan. Ia melihat seorang pemuda terbaring dengan mata tertutup.

"Hei, kamu bisa dengar?" Euna berjongkok di dekat telinga pemuda itu sambil menggoyang-goyangkan tubuh yang tidak merespon.

Hilang kesadaran: cek.

Tubuhnya dibungkukkan dengan posisi telinga di atas hidung pemuda itu. Napasnya tidak ada. Jari telunjuk Euna meraba denyut di pangkal leher, kemudian di pergelangan tangan sejajar ibu jari.

"Riwayat jantung?" tanyanya pada kerumunan.

"Dari appa-nya," sahut salah satu lelaki berambut merah dengan wajah panik. Ah, ini pasti si sepupu.

Euna melambaikan kartu tanda ia memiliki sertifikat kemampuan untuk memberikan pertolongan gawat darurat pada kerumunan. "Saya harus melakukan CPR."

Lelaki berambut merah mengangguk pasrah. "Tolong ..."

Jantung Euna seperti bertalu-talu. Ini pengalaman pertamanya melakukan CPR pada korban sungguhan. Eomma punya riwayat jantung dan sering kambuh ketika marah. Euna tidak pernah bisa melakukan apa pun selain duduk di pojok, menangis kencang pada petugas 119 yang datang menolong.

Saat menginjak delapan belas tahun, Euna memutuskan ikut pelatihan kegawatdaruratan untuk orang awam. Ia bertekad tidak akan diam lagi jika sesuatu terjadi pada Eomma. Sayangnya, beberapa bulan setelah itu, ia tidak lagi tinggal bersama Eomma. Atau keluarganya.

Tolong ... tolong ... selamatkan ...

Euna memulai. Satu, dua, tiga ... lima belas. Dua kali napas buatan. Satu, dua, tiga ... lima belas. Dua kali napas buatan. Ia sudah melakukan dua set CPR ketika ia merasakan denyut jantung dan napas lelaki itu kembali bersamaan dengan tibanya ambulans. Petugas 119 mengambil alih, memasang oxygen mask dan mengecek kondisi vital pemuda itu.

Euna masih berjongkok di sebelah pemuda itu bahkan ketika petugas sibuk menyiapkan pemuda itu untuk dibawa ke rumah sakit.

"Kerja bagus," puji salah satu petugas 119 menepuk bahu Euna. "Ini keajaiban ..."

Ya, Euna tahu itu karena CPR saja jarang sekali berhasil mengembalikan denyut dan napas.

Pujian itu hanya dibalas anggukan oleh Euna. Napasnya mulai pendek-pendek. Ia mengucapkan terima kasih pada Tuhan karena doanya dikabulkan lantas pandangannya mulai buram.

Lalu gelap.

🎸🎸🎸

Mata Euna terbuka perlahan. Yang menyambutnya adalah langit-langit putih, bau obat-obatan serta wajah dua orang yang ia hindari meski tidak ia benci. Mereka bereaksi cepat begitu melihatnya siuman.

"Euna? Gimana perasaan kamu?"

Euna menatap lelaki itu dingin. "Ngapain Oppa di sini?"

Choi Minho menghela napas. Mata bulat—persis seperti mata Euna—melotot tajam ketika mengingat alasan mengapa adiknya bisa ada di sini.

"Panitia kampus menelepon dan bilang kamu pingsan. Asmamu kambuh. Bagaimana bisa kamu menolong orang lalu kamu malah ikutan masuk rumah sakit?!" omelnya gemas.

Euna memunggungi Minho. "Oppa bisa pulang," katanya. "Aku baik-baik saja."

Minho menghela napas. "Euna ... tolonglah, Oppa ini kakakmu. Tidak bisakah kamu biarkan Oppa mengurusmu?"

Tidak! Tidak akan bisa. Selama ini Euna sudah berhasil mengurus dirinya sendiri. Maka kali ini, ia juga tidak butuh bantuan Minho.

"Ho ... " tegur Park Sodam, perempuan yang genap sebulan menjadi istri Minho. "Lebih baik kamu panggil dokter." Ia mendorong tubuh suaminya ke arah pintu keluar seraya mengodekan bahwa ia akan bicara dengan Euna.

"Aku mau pulang, Eonnie," pinta Euna tegas.

Sodam mengelus rambut gadis itu. Terpaut jarak usia enam tahun dengan Minho telah membuatnya merasa seperti orangtua pada Euna.

"Kamu bisa pulang kalau dokter sudah mengizinkan," ujarnya.

Sekali lagi, Euna memunggungi Sodam. Baginya, Minho dan Sodam persis seperti nama kontak di ponselnya. Sesuatu yang ada dan ia abaikan.

Just Ignore.

-bersambung.-





an. Pesan moral hari ini: jadi teman2 belajarlah CPR bikos siapa tahu nnti dpt kesempatan nolong cogan, wkwkw.

Makasih loh supportnya.
-Ki.
 

04:04Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang