10. Masa Lalu

1.2K 282 74
                                    

"Se-sak Sunbae ... "

Adik tingkat itu kembali tercekat dan menangis. Euna menggengam erat tangannya.

"Sabar ..."

"Ra-rasanya mau mati ..."

"Hush! Jangan ngomong sembarangan!" bentak Euna. "Jangan nangis! Kalau nangis, napasnya makin susah. Ayo, pelan-pelan napas lewat mulut. Iya ... begitu. Bagus."

Euna menoleh ke arah kerumunan. "Ada yang tahu dia punya riwayat asma atau enggak?"

Kerumunan di sekitar mereka hanya diam dan berbisik-bisik membuat gadis itu geram.

"Masa nggak ada satupun temannya?!" amarah Euna mulai memuncak, tak sabar dengan tingkah pura-pura tidak tahu mereka.

Daniel sampai ikut turun tangan menanyai mereka.

"Kayaknya ada ..." cicit salah satu adik tingkat. Kalau tidak salah sama-sama staf dari Biro Ekonomi dan Keuangan Internal seperti si adik tingkat yang sesak napas ini.

Euna menghembuskan napas kasar, lalu menoleh pada Daniel.

"Ambulans?"

"In 5 minutes," jawab Daniel.

Langkah kaki yang berlari mendekat membuat Euna langsung merasa lega. Donghyun sudah tiba di sampingnya sambil menyerahkan tabung dengan moncong.

"Nih." Ia tidak berbasa-basi.

Oxycan.

Euna mengambil tabung itu, sedikit menengadahkan kepala si adik tingkat sambil memasang moncong ke dalam mulut.

"Ayo, pelan-pelan napas dari mulut, keluarkan dari hidung," instruksinya pelan.

Napas si adik tingkat yang awalnya tercekat, pelan-pelan berangsur membaik. Masih terdengar tersengal, namun ia tidak lagi terlihat tercekik atau sesak. Bersamaan dengan itu, ambulans tiba. Petugas kesehatan langsung bertindak dan membawa adik tingkat itu ke dalam ambulans.

Euna masih berdiri memandangi si adik tingkat yang diangkut ketika salah satu petugas menghampiri.

"Kamu Choi Euna?" tanyanya.

Gadis itu mengangguk, tak sanggup bicara.

"Kerja bagus, Euna," puji petugas itu sambil mengembalikan Oxycan milik Euna. Si adik tingkat kini sudah memakai selang oksigen. "Kalau bukan karena kamu, mungkin adik tingkat kamu bisa kekurangan suplai oksigen ke otak. Kata Daniel, kamu satu-satunya yang selalu bawa Oxycan setiap ada acara kampus. Kamu sering pakai?"

Pertanyaan itu membuat Euna terdiam. Ia menggeleng pelan. "Cuma berjaga-jaga." Bohong. "Saya punya sertifikat terlatih menangani kegawatdaruratan."

Petugas itu mengangguk paham. "Bagus sekali. Saya senang ada anak muda yang paham kegawatdaruratan. Kerja bagus." Pria paruh baya itu tersenyum kebapakan dan menepuk pundak Euna, kemudian berlalu pergi.

Pintu ambulans ditutup dan mulai meninggalkan area perkemahan. Euna masih menatap ambulans itu. Kedua tangannya menggenggam  tabung Oxycan erat agar badannya tidak gemetar. Ketika ambulans itu benar-benar menghilang, ia merasa sesak. Bayang-bayang dari memori menyeruak. Euna limbung dan seseorang menahan tubuhnya.

Donghyun.

Sahabatnya menyelipkan sesuatu ke tangan Euna. Inhaler. Penyelamat karena napasnya mulai pendek-pendek. Euna memakai inhaler-nya begitu Donghyun menuntunnya untuk duduk. Ia menatap lelaki  yang duduk di sebelahnya lekat.

"Bilang makasihnya nanti aja," goda Donghyun yang masih sempat-sempatnya bercanda. "Kamu baik-baik aja?"

Euna mengangguk. Dusta. Meski ia tahu Donghyun tidak percaya.

04:04Where stories live. Discover now