27. Almost There

700 74 12
                                    

"Bunda ...  ayah datang."

Ladea hampir saja memuntahkan isi mulutnya mendengar suara Shasya dari pintu depan sambil berlarian.

"Ayah?" Ladea meneguk air putih sebelum menoleh ke putri kecilnya.

"See, Sha benar kan. Ayah pasti mimpiin Sha."

"Hai."

Suara berat Bayu membuat Ladea melotot tak percaya.

Berani-beraninya pria itu masuk ke ruang makan. Selama ini  ia hanya mengizinkan Bayu menginjak terasnya.

"Mau apa kau?"

"Apa kabar, Sayang?"

"Ih, apa-apaan?"

"Ih Bunda kok gitu? No, no, no," ujar Shasya sembari menggoyang-goyangkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri. Persis seperti yang kerap dilakukan Ladea padanya apabila ia melakukan tindakan yang kurang berkenan.

Sadar tingkahnya dikritisi putri cantiknya, Ladea terpaksa menggurat senyum di bibirnya.

"Ada perlu apa?"

"Ayah ingin mengajak kita jalan-jalan, Bun." Matanya mengerling, saling kode antara ia dan Bayu.

Ayah?

"Sejak kapan kau menyuruhnya memanggilmu Ayah?"

"Bunda... Sha yang minta."

Lagi-lagi Bayu membiarkan si kecil Shasya menjawab. Ia hanya merespons dengan senyum semringahnya.

"Kalian bersekongkol ya?"

"Sha gak mau makan ikan tongkol. Gatel."

Ladea mendelik.

Tawa Bayu membahana. Sedang Shasya hanya menatap dua orang dewasa yang aneh di hadapannya.

"Ini hari libur. Aku ingin mengajak kalian keliling kota."

"Saya sedang tak enak badan. Lagi pula banyak pekerjaan yang harus diselesaikan." Ladea berjalan ke ruang tamu dengan harapan diikuti Bayu. Ia tak mau Bayu berlama-lama di ruang makan. Tepatnya ia tak mau menjamu sarapan untuk pria itu.

"La... La... please." Bayu menarik tangan Ladea.

"Ya?"

"Bunda, ayo kita jalan-jalan. Kalau Bunda capek ... bagaimana kalau kita jalan-jalan saja di taman kota? Ya. Ya. ya...," pinta Shasya.

Ladea menatap Bayu yang tersenyum.  Ia lalu mengembuskan napasnya.

"Baiklah. Kali ini kau boleh bersenang-senang."

Ladea berjalan menuju kamarnya dan berganti pakaian.

***

"Jadi, sudah dipikirkan?"

"Memikirkan apa?" Ladea menyeruput teh botol dan tampak tak acuh.

"Hei ... ini sudah lebih dari sebulan setelah hari itu. Apa masih belum ada jawaban atas permintaanku?" Bayu mengingatkan.

"Saya sudah menjawabnya tempo hari. Tidak. Apa jawaban itu kurang jelas?"

Bayu menarik napas panjang. "Kupikir waktu bisa melembutkan hatimu."

Ladea mendengus. "Dengar, ini tidak akan berhasil. Saya merasa kurang nyaman berteman denganmu, apalagi menjadi ... sepasang kekasih. Kita dipertemukan bukan untuk bersatu."

"Kita bahkan belum mencobanya, Ladea. Kurasa ... ini semua hanya tentang penilaianmu terhadap ... lelaki."

"Sok tahu. Saya tidak ingin mencobanya."

"Sampai kapan? Shasya butuh seorang ayah."

"Saya sudah mengambil peran ayah untuknya selama delapan tahunan ini."

"Ladea. Kamu butuh seorang pria."

" I have a dad."

"Bundaaa ..." Dari kejauhan Shasya melambai-lambaikan tangan. Ia tampak gembira dengan gelembung-gelembung busa sabun di sela-sela bebungaan.

"Lihatlah. Shasya akan tumbuh menjadi gadis belia. Tentu seorang ayah yang menemani langkahnya akan membuat ia tumbuh menjadi gadis remaja yang baik. Jangan dimungkiri, Ladea. Bagaimanapun, seorang anak butuh ayah dan ibunya di rumah."

Ladea menatap Shasya yang berlari-lari kecil. Dalam hatinya ia mengiyakan perkataan Bayu. Senyum tipis terulas di bibirnya.

"Ya, bila ada ayah dan ibu, seorang anak akan merasa hidupnya sempurna. Tapi itu bukan satu-satunya kriteria anak tumbuh dengan baik. Kau tahu tak sedikit anak yang bengal walau hidup seatap dengan ayah dan ibunya."

"Itu lain cerita, Ladea. Jangan melebar. Aku benar-benar fokus padamu. Pada Shasya. Aku ingin menjadi bagian dari kehidupanmu dan putri kecilmu."

Ladea bungkam.

"Saya tidak ingin."

"Ladea. Jangan keraskan hatimu. Lihatlah Shasya. Lihatnya bagaimana nanti kehidupannya seandainya kamu terus sendiri karena keegoisanmu."

Ladea bungkam. Hatinya menyimpan banyak kata-kata namun, bibirnya terkunci. Ia tak tahu bagaimana harus  memulai.

"La? Ada yang ingin kamu ucapkan?" tanya Bayu ketika menatap bibir Ladea yang tiba-tiba terbuka namun membatu. Ladea seolah menyimpan pikirannya tidak di tempat ini.

"Eh, tidak. Tidak ada," ujar Ladea lalu mengalihkan pandangannya ke arah Shasya yang tampak asyik bermain dengan beberapa anak seusianya.

"Ladea ..."

"Hmmm. Bayu, kau belum mengenal saya dengan baik. Apa yang terlihat di matamu seringkali menipu. Tentu saja, saya juga begitu. Saya tak seindah yang kau lihat."

"Ssst. Aku tak butuh keindahan yang hanya tercetak di mata. Aku yakin kamu jauh lebih indah dari yang terlihat."

Ladea tersenyum. "Sungguh, kau belum mengenal seorang Ladea."

"Bagaimana bisa aku mengenalimu bila kamu tak benar-benar mau membuka diri?"

"Bayu, kita hanya rekan kerja. Itu saja yang perlu kau garisbawahi. Saya tidak mencintaimu. Tidak bisa."

"Mengapa? Apa benar rumor yang kudengar tentangmu?"

"Rumor?"

"Ya ... tentang seseorang yang bernama Winda ... Aku jauh lebih mengenalmu daripada yang kamu duga selama ini, Ladea."

Ladea tersentak ketika nama Winda keluar dari bibir Bayu.

"Kau ... kau memata-matai kehidupan saya."

"Aku tak peduli. Aku tak peduli. Sekali lagi aku tak peduli, Ladea. Yang kuinginkan hanya mengubah hatimu. Mengubah kehidupanmu. Tentu saja, karena aku mencintaimu."

"Tapi ..."

"Aku tak butuh alasanmu tentang Winda. Bagiku dia hanya sebuah jalan yang pernah dan telah kamu lewati."

Ladea menahan sesuatu yang berat di tenggorokannya. Matanya pun terasa panas. Pikirannya tiba-tiba tertuju pada pesan beruntun di Linenya. Pesan penuh amarah dari seorang wanita bernama Winda Indadistya.

Seorang wanita yang memiliki separuh hatinya.

Lady LaWhere stories live. Discover now