4. Beginilah Jadinya

7.5K 176 1
                                    

Tanpa berpikir dua kali kuarahkan mobil ke barat. Mungkin saja ia tak bisa tidur nyenyak karena digoda nyamuk-nyamuk nakal.

Lampu ruang tamu sudah padam. Dengan hati-hati aku menuju kamar yang ditempati Santy. Suara alunan melodi terdengar. Rupanya ia lupa mematikan pemutar musik di hapenya. Pelan-pelan kubuka pintu yang tak terkunci.

Santy tampak terlelap di ujung kasur tanpa selimut. Bisa-bisanya ia tertidur tanpa merasa dingin, padahal suhu ruang kamar terasa dingin karena AC. Aku mengendap-endap seperti maling saja. Tak ingin ia terbangun.

Dengan lembut kuselimuti tubuhnya. Ya Tuhan, kelelakianku terusik melihatnya. Usiaku tak lagi muda. Tiga puluh tahun bukanlah dini, tapi untuk urusan wanita, ini kali pertama aku merasakan debaran aneh di dadaku.

Aku menyentuh keningnya dan menyibak rambut yang menutupi wajahnya. Ia memang tak cantik. Tapi Santy adalah gadis yang manis.

Menyebut kata gadis, membuatku makin bergairah. Tiba-tiba saja aku merasa suhu tubuhku meningkat. Semakin lama di dalam kamar ini, semakin panas jiwaku. Perlahan aku menjauh setelah yakin selimut yag kukenakan padanya takkan membuatnya kedinginan.

"Mas ...? Kau kah itu?"

"Sst ... tidurlah. Iya ini aku."

Tangannya meraih jemariku.

"Aku takut ..."

"Takut apa? Sudah besar kayak anak kecil saja."

"Ya, siapa yang berani ditinggal sendiri di rumah sebesar ini?! Menyeramkan. Makanya kubiarkan suara lagu tadi nyala terus. Keapa Mas matikan?" tanyanya saat menyadari sudah tidak ada keramaian di kamar yang ia tempati.

"Sst ... tidurlah. Aku menemanimu hingga kau tertidur pulas." Aku beringsut ke ujung ranjang dan duduk di sampingnya.

Santy kembali memejamkan matanya. Tangannya menggenggam tanganku. Gadis yang usianya lebih muda 7 tahun dariku ini benar-benar polos seperti bayi. Sebentar-sebentar ia menggeliat.

"Kamu tak bisa tidur?" tanyaku sambil mengubah posisi dudukku. Kutahu ia tak benar-benar lelap.

Ia mengangguk pelan dengan mata terpejam.

Kutarik kepalanya dan merebahkan di atas pahaku. Rambutnya yang tergerai menyerbakkan wangi yang membuat gairah tak menentu.

"Mas ...," katanya manja. Tangannya kini berpindah pula ke pahaku. Mengelus lembut dan meninggalkan sensasi seperti tersengat listrik.

"Ada apa? Tidurlah," ujarku gugup.

"Aku ..." Kepalanya mendongak melihatku.

Kubelai wajahnya yang dingin. Tatap matanya membuatku salah tingkah. Kau pasti pikir aku lelaki aneh. Tapi benarlah, kau pasti ingat bahwa cinta datang terlambat di usiaku yang baru saja menginjak kepala tiga. Cinta yang masih malu-malu. Tapi siapa yang bisa tahan bila di hadapan ada gadis yang membuka setengah bibirnya sambil menatap penuh arti?

"Mas, bolehlah aku bercerita?" tanyanya menyadarkanku.

"Ya, kenapa tidak?"

"Sebelumnya, apa yang mas ketahui tentang aku selain kehidupan keluarga yang begitu membuatku tertekan?"

"Hmm ... rasanya hanya itu. Oh ya, ada lagi ... benarkah pria sebelum aku meninggalkanmu dan menikah dengan wanita lain?" Santy mengernyit dan bangun dari rebah. Ia lalu duduk mendekat dan menyandar di bahuku. Lagi-lagi aroma rambutnya menaikkan hasrat.

"Bila itu yang ingin kamu ceritakan, lebih baik jangan. Aku tak peduli perasaanmu dulu. Yang ingin kutahu sebenarnya ... apakah perasaanmu yang saat ini." Aku menoleh padanya. Pipiku menyentuh ujung hidungnya yang dingin.

"Hm ... ya, kalau gitu aku tak jadi cerita. Toh Mas sudah tahu ternyata. Hanya saja ..."

"Sst ..." Aku menutup bibirnya dengan telunjukku. "Aku tidak mau mendengar nama pria lain di kamar ini atau di mana pun saat kamu bersamaku."

Ia mengangguk paham. Digenggamnya jemariku dam diciuminya.

"Terima kasih sudah mengobatiku."

"Sudah, tidurlah. Masih ada beberapa jam sebelum matahari muncul."

"Tapi aku tak bisa tidur!"

"Kenapa? Apalagi yang kamu pikirkan?"

"Mas."

"Kenapa denganku?"

"Wanita mana yang bisa terpejam matanya saat di sampingnya ada seorang laki-laki, mana tampan dan menggemaskan."

"Ohhh, jadi kamu ingin kutinggalkan?"

"Tidak!" Ia menarik tanganku saat alu beranjak berdiri.

"Mas tak ingin menemaniku?"

"Loh? Katanya gak bisa tidur karena ada lelaki asing?" Aku menggodanya.

"Tapi kan Mas beda. Maksudku aku hanya ingin ditemani ngobrol. Gitu. Mana bisa tidur lagi."

Benar. Aku juga tak akan bisa tidur. Apalagi ... hasrat sudah memanggil-manggil sedari tadi. Bodoh bila aku hanya diam.

Santy menarikku kembali naik ke ranjang. Dan tanpa kuminta ia meletakkan kepalanya di pahaku.

"Cerita apa gitu, Mas. Aku belum tahu banyak tentang kehidupanmu."

"Hahaha. Kamu itu. Bukannya kemarin aku sudah cerita tentang pekerjaanku?"

"Bukaaan. Aku ingin tahu kehidupan cinta Mas. Apa ada ... mantan?"

"Hahaha. Kamu benar-benar ingin tahu?" Ia mengangguk.

"Kamu pasti akan menertawakanku. Tapi, kamu satu-satunya. Pertama dan semoga jadi yang terakhir untukku."

"Ah, bohong."

"Serius. Bahkan ... aku belum pernah tahu mencium bibir wanita."

Santy tersentak. Dan dalam sekejap ruangan kamar membahana dengan tawanya.

Aku menarik pinggangnya mendekat. Tanpa menunggu jeda kukecup bibirnya.

"Mmmph, Masss."

Lady LaWhere stories live. Discover now