"Bella!" semprot (namakamu) kesal, mulut Bella memang harus dilakban.

Cewek berbaju tidur pink itu tertawa, setelah berhasil memojokkan (namakamu), "Haha, kenapa, omongan gue bener?" tanyanya dengan kedua alis terangkat.

"Tau ah, gelap!"

***

"Kenapa kamu telat lagi?" 

Suara itu mampu menghentikan langkah Iqbaal memasuki kelas, ia memutar tubuhnya memandang wanita paruh baya yang berada dibelakangnya dengan tatapan biasa saja.

"Kesiangan." jawab Iqbaal singkat, matanya berkeliaran kemana-mana, sesekali ia membenahkan posisi tas ranselnya yang miring.

"Alasan, kamu itu yang pinter dikit dong kalo mau cari alasan, kesiangan terus, di rumah kamu emang gak ada jam apa gimana?" damprat bu Tiara marah, pasalnya setiap kali ditanya kenapa terlambat, jawaban Iqbaal selalu sama, kesiangan.

Padahal Iqbaal sudah beberapa kali diberi surat peringatan oleh pihak sekolah karena tingkat keterlambatannya tidak berubah sama sekali dari tahun ke tahun.

Iqbaal menghela nafas, "Saya gadein, buat beli motor." 

Sebenarnya Iqbaal tidak ingin membuat lelucon atas perkataannya, namun entah kenapa hal itu malah membuat wanita paruh baya itu terkekeh pelan.

Kelakuan Iqbaal memang sedikit lucu, terlebih ia memiliki wajah tampan nan polos.

"Kelakuan kamu ini loh, perlu diubah." gerutu bu Tiara sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. 

Wanita itu masih memandanginya, sambil membawa beberapa buku cetak ditangannya.

"Jadi intinya saya boleh masuk apa enggak?" tanya Iqbaal, pasalnya kakinya mulai pegal karena berdiri diambang pintu seperti ini, Iqbaal memerlukan duduk.

Bu Tiara mengangguk, kali ini ia membolehkan Iqbaal untuk masuk kedalam kelasnya. Tapi lihat saja, jika besok ia mengulangi kesalahannya lagi, tidak akan ia bolehkan Iqbaal masuk pelajarannya lagi.

"Ya sudah sana duduk dan jangan ribut."

Kepala Iqbaal menganguk, berjalan memasuki kelas dengan tatapan datarnya, bahkan ia sama sekali tidak melirik Salsha yang terang-terangan mengamatinya sejak tadi.

Pasca Iqbaal menyeret Salsha waktu itu, Iqbaal bahkan tidak menghubungi ataupun mengucapkan sepatah kata kepada Salsha.

Iqbaal hanya kecewa, karena ternyata Salsha tidak mampu memenuhi janjinya.

"Kenapa sih, tiap dateng ke sekolah muka lo gak ada senengnya sama sekali."

Suara itu terdengar ketika Iqbaal meletakkan tas ranselnya diatas meja, itu suara Zidny teman sebangku Iqbaal. Mereka tidak dekat, hanya sebatas kenal, itu saja.

"Masalah." satu kata itu mewakili semuanya, tatapan Iqbaal menatap fokus ke depan, walaupun pikirannya masih berkeliaran kemana-mana.

"Masalah apaan lagi? Dapet surat panggilan? berantem lagi sama Aldi? atau apa?" Zidny memang tipe cewek tomboy yang suka sekali bergaul dengan kaum adam. Membuat cewek itu terkadang sangat cepat mendengar berita tentang Aldi dan Iqbaal.

Iqbaal menggeleng pelan, kepalanya menunduk ia juga tidak tahu apa masalahnya kali ini, hanya saja yang ia rasakan akhir-akhir ini tidak menentu, ditambah (namakamu) yang sulit sekali ia jumpai.

Kemudian pikirannya tertuju pada (namakamu).

Segera cowok itu menghadap kearah Zidny yang bersandar di tembok, "Kalo cewek lagi ngambek itu gimana cara supaya bikin dia seneng lagi?" 

Pertanyaan itu meluncur jelas dari bibir Iqbaal, dan itu cukup membuat Zidny sedikit terkejut, karena yang ia tahu Iqbaal sangat pintar memainkan hati wanita, lalu kenapa sekarang ia malah meminta pendapatnya?

"Tumbenan lo nanya soal cewek ke gue, biasanya 'kan paling jago lo soal beginian."

"Gue serius."

"Emang dia marah karena apa?"

Rasanya materi Bahasa Indonesia yang tengah bu Tiara jelaskan sudah tidak menarik lagi bagi Zidny dan juga Iqbaal.

"Gue ningalin dia di cafe." jelas Iqbaal.

Kening Zidny berkerut, kenapa Iqbaal meninggalkan seorang cewek di cafe? "Kenapa?" tanyanya bingung.

"Apanya?"

"Kenapa lo ninggalin dia?" tanya Zidny memperjelas.

"Karena gue ngeliat Salsha lagi sama Aldi, gue gak bisa ngeliat Salsha bareng sama dia, jadi gue nyeret Salsha pulang dan ninggalin dia sama Aldi, berdua."

Zidny mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti, jadi ini yang mengganggu pikiran teman sebangkunya akhir-akhir ini.

"Udah coba minta maaf?"

"Udah, tapi dia gak mau denger penjelasan gue, malah marahin gue di tengah lapangan pula." Iqbaal mendengus mengingat saat itu, untung saja tidak banyak yang melihat adegan mereka.

Terdengar helaan nafas dari Zidny, cewek itu memandang Iqbaal dalam, "Cewek itu perlu pengertian, salah lo juga ninggalin dia di cafe, dia marah sama lo karena dia kecewa, terus udah berapa kali lo minta maaf sama dia?"

"Satu kali."

"Tolol," desis Zidny "lo laki Baal, masa cuma masalah gini lo lempeng banget sih? coba terus, sampe dia maafin lo." 

Usulan Zidny ada benarnya, cuma yang ia takutkan (namakamu) malah risih karena kelakuan Iqbaal berlebihan. Jadi, Iqbaal memilih jalan aman saja.

"Gimana kalo dia ilfeel sama gue."

"Ya nggak lah, cewek itu perlu tau mana yang mau bener-bener perjuangin dia." jelas Zidny, disaat seperti ini cewek itu memang sangat pas untuk dijadikan teman curhat.

Walaupun berpakaian urakan, Zidny masih memiliki sisi kelembutan yang jarang orang lain tahu.

"Intinya, gue harus gimana?" jujur saja untuk memikirkan masalah (namakamu) yang ngambek karenanya, itu membuat kepala Iqbaal seakan meledak detik itu juga.

"Kerumahnya, bawa makanan yang dia suka, apa kek, terus minta maaf dan jelasin semuanya, simpel." kata Zidny yang kini sudah tidak lagi bersandar di tembok, kala matanya tidak sengaja menatap bu Tiara yang tengah menatap keduanya.

Untuk menghindari masalah, maka dari itu Zidny maupun Iqbaal berpura-pura membuka buku, sesekali mengumamkan sesuatu yang tentu saja jauh dari pelajaran yang mereka pelajari.

"Kalo gue ditolak lagi?" Iqbaal menoleh kearah Zidny yang masih menunduk membaca buku cetaknya.

"Try again."

***


semesta | IdrWhere stories live. Discover now