8

1.3K 196 4
                                    

Tentang kau dan semesta [8]

"Lo yakin mau balik ke Bandung?"

Pertanyaan itu lolos dari bibir Iqbaal, ketika mengantar (namakamu) pulang setelah makan malam bersama Bundanya. Keduanya masih berada di teras kosan (namakamu), berdiri saling berhadapan.

Anggukan dari (namakamu) sudah menjawab segalanya, segala pertanyaan yang berkecamuk dikepala Iqbaal sejak (namakamu) mengatakan jika dirinya akan pulang ke kampung halamannya.

"Iya, setelah lulus nanti, gue mungkin bakalan bantu Ibu di sana." jelasnya.

Entah apa yang merasuki Iqbaal, ada sebagaian dari dirinya yang tidak bisa menerima keputusan (namakamu) yang menurut Iqbaal dadakan itu. 

Dengan siapa lagi Iqbaal bercerita segala keluh kesahnya seharian?

Berbagai cegahan yang ingin Iqbaal katakan, terasa menyangkut ditenggorokkan, membuat Iqbaal dengan susah payah menelan air liurnya sendiri, "Kenapa gak disini aja?"

(namakamu) menggeleng pelan, inginnya seperti itu namun ekonomi keluarganya yang tidak mencukupi kehidupannya di Jakarta. Membuat (namakamu) harus pulang ke Bandung, melanjutkan pendidikannya di kota itu.

"Gue gak bisa Baal, kalo bukan karena beasiswa yang gue terima, gue gak bakal ada di sini sama lo sekarang." ucap (namakamu) menunduk, matanya secara tidak sengaja melihat cincin yang masih melingkar di jari manisnya.

Sebelah tangan (namakamu) mengusap cincin itu pelan, ia sudah memulangkannya tadi pada Iqbaal, namun cowok itu menolak, karena cincin ini untuk (namakamu) sebagai tanda terimakasih, katanya.

Mengingat tentang beasiswa yang ia terima, beasiswa itu akan habis tahun ini. Itu artinya dalam jangka waktu beberapa bulan kedepan ia harus segera mengurus segala kebutuhannya di Jakarta, sebelum kembali ke Bandung.

"Jadi lo ninggalin gue?"

Mendengar hal itu (namakamu) mendongak, matanya bertemu pada tatapan sendu Iqbaal. Hanya senyuman yang mampu (namakamu) tunjukkan, berharap dengan itu Iqbaal tidak kembali bertanya.

Puk.

Lamunan Iqbaal buyar seketika, setelah merasakan seseorang menepuk pundaknya dengan cukup keras, Iqbaal menoleh untuk sekedar melihat siapa yang baru saja menepuk pundaknya.

Suasana kelas saat ini sangar bising, akibat rapat yang diadakan para guru. Jam kosong sudah menguasai sebagian besar kelas, banyak siswa/i yang berlarian di luar sana, berfoto, bergosip atau bahkan yang lainnya.

Dari jarak yang hanya berkisar dua langkah, mata hitam Iqbaal menatap tajam Joko, selaku ketua kelas. Tanpa bertanya, Joko sudah tahu apa yang harus dilakukan setelahnya.

"Lo disuruh nemuin Aldi, sekarang." kata Joko luwes.

Kening Iqbaal berkerut samar, tumben sekali Aldi memintanya untuk bertemu, biasanya Aldi akan bersikap tidak perduli jika berpapasan dengannya.

Mungkin gara-gara masalah Salsha, tapi, ada yang baru Iqbaal sadari, sudah satu minggu lamanya Iqbaal tidak mendengar kabar tentang cewek itu.

"Dia ada di belakang sekolah." lanjutnya sebelum beranjak pergi dari tempat duduk Iqbaal.

***

Tidak memerlukan waktu lama, ia sudah menemukan Aldi tengah duduk dikursi yang letaknya tepat di bawah pohon rindang, sehingga yang Aldi rasakan bukan panas, namun sejuk yang menyegarkan.

Tatapan Aldi bertemu dengan Iqbaal yang masih bergeming di ujung pintu, tatapannya seolah mengisyaratkan Iqbaal untuk segera datang mendekat.

Iqbaal menurutinya, berjalan mendekati Aldi dengan langkah angkuh, "Ngapain lo ngajak gue kesini?" tanya Iqbaal to the point.

"Duduk." Aldi menepuk bagian kursi yang kosong.

"Ck," Iqbaal berdecak kesal, "jangan basa-basi, ngapain lo panggil gue kesini?!"

"Santai, gue cuma mau ngomong baik-baik sama lo." nada bicara Aldi masih sama, datar namun terkesan dibuat-buat. Membuat Iqbaal sendiri geram mendengarnya.

Iqbaal memilih tidak menjawab, matanya tidak lepas dari Aldi yang masih mengunyah permen karet, menunggu apa yang akan dikatakan cowok itu selanjutnya.

Dua menit setelahnya, Aldi bangkit dari duduknya, melepehkan permen karet itu tepat disamping kursi, "Atas nama nyokap gue, gue mau minta maaf sama lo." ucap Aldi menatap Iqbaal.

"gue tau, nyokap gue udah ambil bokap lo, gue gak tau apapun tentang perselingkuhan mereka, bokap gue juga jadi korban disini Baal," ada jeda "karena gue gak mau permasalahan ini berlanjut, gue mutusin buat kita selesaiin sekarang, di sini."

Decakkan langsung keluar dari bibir Iqbaal, sudah tahu kemana arah pembicaraan ini akan berlanjut, "Apa yang perlu diselesaiin? semua udah jelas kalo nyokap lo ngancurin keluarga gue!" bentaknya tidak suka.

Sejak dulu, Iqbaal memang tidak menjalin hubungan baik dengan Aldi, ditambah masalah kedua orang tuanya membuat Iqbaal semakin enggan untuk sekedar menatap Aldi.

Kepala Aldi mengangguk santai, sorot matanya masih tanpa kebencian seperti dulu, "Awalnya gue juga gak bisa nerima ini semua, tapi seiring berjalannya waktu makin ke sini gue makin paham kalo apa yang kita lakuin sekarang ini percuma, nyokap gue udah nikah sama bokap lo."

Belum sempat Aldi melanjutkan kalimat panjangnya, Iqbaal sudah lebih dahulu menyela dengan nada tinggi.

"Dan itu yang gak bisa gue terima sampe detik ini! pikir, rumah tangga yang mati-matian dipertahanin sama nyokap gue ancur, cuma gara-gara siapa? NYOKAP LO!" tuding Iqbaal tepat di depan wajah Aldi.

Aldi menepis jari Iqbaal, "Gue tau," katanya "gue pun ngerasain hal yang sama, tapi sedikit aja Baal, lo buang ego lo, orang lain juga berhak bahagia." balas Aldi tidak mau kalah.

Sebenarnya bukan tanpa alasan Aldi melakukan ini semua, semua ini hanya karena ia tidak suka melihat Mamanya selalu menelpon hanya untuk menanyakan kabar Iqbaal sambil menangis.

Apakah Iqbaal sudah memaafkan Ayahnya, atau belum.

Apakah Iqbaal sudah bisa menerima semuanya, atau belum.

Mau bagaimanapun Mona tetaplah ibu bagi Aldi, perempuan yang sudah membesarkan nya.  

Pertanyaan semacam itu sudah sering Aldi dengar, hingga Aldi muak dan mengutarakannya hari ini.

"gue berani bersumpah kalo mereka masih nanggung beban karena kita, jadi alangkah baiknya kalo kita terima apa yang udah terjadi." lanjut Aldi kemudian.

Rahang Iqbaal mengeras, apa yang Aldi bilang tadi? menerima? Iqbaal bahkan butuh waktu seumur hidup untuk bisa menerima semua ini.

"Nyokap gue bahkan gak pernah baik-baik aja setelah Ayah mutusin buat pergi, dan sekarang lo nyuruh gue buat nerima semuanya? lo gila Ald!"

"Apa lo fikir bokap gue baik-baik aja setelah kehilangan Mama?" balas Aldi bertanya, nada suaranya sedikit berbeda, "come on Baal, gak ada satu orang pun yang baik-baik aja ketika ditinggal orang yang paling berharga dalam hidupnya!"

Aldi terkekeh pelan, "udah hampir satu tahun, apa masih gak ada niatan buat maafin kesalahan bokap lo?"

"Gak bisa." keukeh Iqbaal, ia masih ingin melihat Ayahnya menderita karena sudah meninggalkan Iqbaal dan Rike.

Cowok bermata sipit itu lagi-lagi terkekeh, ia berjalan mendekati Iqbaal menatapnya sejenak, sebelah tangannya terangkat menepuk pundak Iqbaal tiga kali sebelum berkata;

"Pertahanin ego lo, kalo emang lo mau bokap lo pergi, bukannya sesuatu akan terlihat berharga ketika sudah hilang?"

Itu adalah kalimat yang Iqbaal dengar, sebelum Aldi beranjak pergi meninggalkan Iqbaal yang masih belum bergeming di tempat.

***

semesta | IdrDove le storie prendono vita. Scoprilo ora