Prolog

102K 4.9K 26
                                    

Waktu itu sore hari, langit mendung hampir di seluruh kota Jakarta. Pejalan kaki melangkahkan tungkai dengan sedikit lebih cepat demi menghindari hujan yang sebentar lagi akan turun.

Seorang bocah laki-laki kira-kira berusia empat tahun berjalan di antara pejalan kaki yang lain. Tidak ada yang menyadari keberadaannya.

Tubuhnya kurus akibat kurang asupan gizi. Bajunya lusuh karena sudah lama tidak dibersihkan, di beberapa bagian bahkan koyak hingga memperlihatkan kulitnya yang juga dekil. Rambutnya kotor, sekotor tubuhnya yang dipenuhi debu.

Kaki kecilnya terus berjalan walaupun ia tak tahu kemana ia akan pergi. Anak itu tidak menangis, tapi terlihat kesedihan di bola matanya yang abu-abu. Bibirnya yang pecah-pecah ditarik dalam bentuk garis lurus hingga membuatnya terlihat seperti anak berusia sembilan tahun di dalam tubuh anak berusia tiga tahun.

Hujan akhirnya turun, orang-orang berlarian ke tempat berteduh. Dengan cepat tempat perteduhan dipadati orang-orang dewasa, anak laki-laki itu tidak kebagian tempat. Ia berdiri di pojokan ujung, atap plastik di atasnya tidak bisa menaungi seluruh tubuhnya yang kecil sehingga bajunya yang kusut menjadi basah.

Ia kedinginan, tapi tetap diam di tempatnya.

Sekitar tiga puluh menit hujan reda. Tempat berteduh itu mulai sepi hingga kemudian tinggal ia seorang diri. Anak itu berpindah ke atas kursi, dengan pelan ia memanjat kursi di sana. Ketika sudah berhasil berada di atas, ia membaringkan badannya kemudian meringkuk. Ia menggigil.

Ia teringat Ibunya. Bibir mungilnya bergerak memanggil Ibunya. ''Ibu," bisiknya lirih, suaranya penuh kesedihan. "Aku kedinginan."

Malam kian gelap, kendaraan melintas bergantian. Rodanya yang melindas genangan air sehabis hujan menimbulkan suara cipratan. Bunyi klakson mobil dan motor turut memberi keributan, khas kota besar yang tak pernah tidur.

Anak itu masih setia berbaring, tak berdaya dengan tubuhnya yang lemah. Perutnya lapar, ia haus. Makanan terakhir yang ia makan adalah roti coklat yang dibawa Ibunya dari tempat kerja, itu pun satu hari yang lalu. Ia meremas perutnya yang perih, ia tak henti-hentinya memanggil ibu.

Sebuah mobil mewah warna hitam berhenti tepat di depan tempat berteduh itu. Seorang wanita cantik keluar dari sana, ia berjalan ke arah anak lelaki itu.

Tangannya yang halus mengguncang lembut bahu bocah di depannya. ''Hei, kenapa tidur di sini?" Katanya, membangunkan bocah tersebut.

Bocah itu tidak menjawab, ia menggigil, giginya bergemelatuk.

"Di mana Ibumu?" tanya wanita itu lagi. Ia melepas syal-nya kemudian menyelimuti anak itu.

"Ibu," anak itu bersuara dengan gemetar, bibirnya begitu pucat. "Ayahku memukul Ibuku! Dia membuatnya tidur, Ibu tidak mau menjawabku. Dia tidur. Ibuku tidak mau bangun." Matanya mengerjap, bola matanya bulat dan polos.

Wanita itu mengangkat anak itu dalam gendongannya, mengusap-usap punggungnya dengan cara seorang ibu membelai anaknya. Wanita tersebut mengucapkan kata-kata penghiburan, kemudian membawa anak itu ke dalam mobilnya. Ia memerintahkan supirnya menyalakan penghangat di mobil tersebut lalu kembali melanjutkan perjalanan.

"Ke rumah sakit terdekat, Pak." Perintahnya pada supir yang mengemudi. Anak dalam pelukannya sudah lebih tenang. Wanita itu melirik ke bawah, ke wajah anak laki-laki dalam rangkulannya itu. Ia tertidur.

Dengan sedih ia berpikir, apa yang terjadi pada orang tua anak ini hingga menelantarkan anak sekecil ini sendiri di jalanan. Hati keibuannya tergerak begitu melihat kesedihan pada seluruh bagian di tubuhnya yang kurus. Ia akan merawat anak itu. Jika orang tuanya tidak mencarinya, biarlah aku yang merawatnya. Batinnya dalam hati.






Tbc...

I Feel The Love (Playstore)Where stories live. Discover now