Epilog

1.5K 44 2
                                    



Bocah laki-laki tampan itu berlari dengan semangat menuju seorang wanita cantik dengan perut yang membuncit. "Mami" begitulah panggilan yang diucapkan saang anak saat melihat ibunya. Sang wanita tersenyum melihat buah hatinya, dan sang buah hati langsung memeluknya dengan erat.

"Mami, tadi kakek ngajakin abang beli mainan. Mainannya bayak lagi". Bocah tersebut merentangkan kedua tangannya selebar yang ia bisa. "Loh, kan mainannya abang masih banyak, kenapa ngak nolak aja waktu kakek nyuruh milih mainan". Wanita itu ingin berjongkok, tapi perutnya yang membuncit membuatnya mengurungkan niatnya.

"Tapi kata kakek, kalo nolak olang dewasa dosa mami, kalna abang takut dosa, abang ambil aja banyak-banyak supaya abang ngak masuk nelaka". Bocah tersebut menjawab dengan polosnya. "Trus mainannya dimana?" sang wanita mengusap pelang rambut putranya. "Kata kakek, bial kakek aja yang bawa, soalnya belat mami".

"Mami dedek kapan kelual ya Mi?"tanya sang anak sambil mengusap perut buncit ibunya.

"Kenapa, abang pengen banget ya punya adek?"

"Kalo kata kakek, Abi ngak bisa dipanggil abang kalo belum punya dedek. Abi kan pengen di panggil abang benelan mami". Bocah laki-laki yang sebenarnya bernama Abbiyu Latif Kusama, tersebut terus berceloteh.

Mereka duduk diatas kursi taman yang berada di halaman depan. Wanita tersebut tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya, memiliki seorang suami yang sangat perhatian dan seorang anak yang tampan, ditambah lagi dengan kehadiran janin kecil yang ada diperutnya. Perlahan tangan kanannya mengusap lembut perutnya, ini adalah bulan ketujuh kehamilannya. Sebuah lengan besar memeluknya dari belakang, sambil menumpukan dagunya dipucuk kepala sang istri. Tak terasa setetes air mata jatuh menimpa wajahnya.

"Ada yang mengganggu pikiranmu sayang?" suara lembut sang suami seakan menariknya kembali dari lamunannya.

"Papi!!" buah cinta mereka meneriaki sang lelaki dengan semangat, sambil mendaratkan sebuah kecupan kecil di pipi sang ayah. Sang ayah hanya tersenyum dan mengusap kepala sang jagoan kecilnya. "Papi, Abang main ayunan ya?" bocah kecil tersebut telah berlari kearah ayunan tua yang masih menggantung dengan sempurna.

Mereka sibuk memperhatikan bocah lima tahun tersebut."Makasih, makasih buat semuanya" sang wanita menyandarkan kepalanya didada bidang suaminya. "Makasih, karna tidak mengabulkan permohonan bodoh aku. Makasih ..." ucapan wanita tersebut langsung terhenti saat bibirnya telah dibungkam oleh benda empuk yang basah, bibir suaminya.

"Seharusnya aku yang bilang makasih sama kamu. Kamu yang sudah membuatku semangat lagi. Kamu yang memberiku dukungan untuk menjadi seperti sekarang. Kamu dan putra kitalah yang menjadi alasanku untuk bertahan. Terimakasih karna sudah memilihku". Laki-laki tersebut merangkul bahu sang istri yang bergetar.

Lima tahun yang lalu, meski sudah sangat lama, mungkin adalah hal yang paling disyukuri oleh Reyna. Andai saja semua itu nyata, maka Reyna bukanlah apa-apa. Mungkin Reyna akan menjadi manusia bernyawa tampa ada jiwa.

Semua itu hanya mimpi buruk yang melanda.

Flasback

Reyna terus memanggil-manggil nama Diof dalam mimpinya. Ini tidak benar, Diof tidak mungkin mati, Diof tidak mungkin meninggalkan dirinya. Cairan bening tersebut terus mengalir dari pelupuk matanya. Namun sebuah usapan lembut kembali membawanya kealam sadarnya. Itu Diof, mata yang telah lama terpejam itu terbuka dengan sempurna. Reyna kembali menagis, mencubit pipinya sendiri. Sakit, ini bukanlah mimpi, ini sebuah kenyataan. Bahwa saat ini Diof sedang tersenyum kearahnya.

Kebahagian menyusup masuk kedalam relung hatinya, disaat dokter mengabarkan bahwa Diof baik-baik saja. Semua diaknosa tentang kelumpuhan yang akan dialaminya ternyata tidak terjadi sama sekali, sekarang Diofnya telah kembali.

The Return Of First LoveWhere stories live. Discover now